Petugas Haji Kloter 1 Embarkasi Banjarmasin 2010

Ketua Kloter (TPHI) : Drs.H.Munadi Sutera Ali, M.M.Pd. Pembimbing Ibadah : H.Sarmadi Mawardi,Lc.,S.Pd.I Dokter (TKHI) : dr.Hj.Nor Salehah Paramedis (TKHI) : H. Irpani,S.Kep Paramedis (TKHI) : H.Gunawan,S.ST. TPHD : Drs.H.Gazali Rahman,M.Si

Senin, 18 April 2011

KEMBALI KE HABITATNYA DI PESANTREN

DR KH IDHAM CHALID
Dari Politik Beralih ke Pesantren

IA MENJABAT KETUA UMUM PBNU SELAMA HAMPIR TIGA DASAWARSA.
Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar, baru saja berakhir pada Ahad (28 Maret 2010) dengan terpilihnya Rais Aam KH Sahal
Mahfudz dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siradj periode kepemimpinan 2010-2015. Kedua duet ini diharapkan mampu mengembalikan kejayaan NU.
Ketika semua mata tertuju pada perhelatan Muktamar ke-32 NU di Makassar itu, mungkin ada satu hal yang terlupakan oleh para muktamirin. Dialah Dr KH Idham Chalid. Dr KH Idham Chalid, yang telah memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia itu selama kurang lebih tiga dasawarsa (tepatnya 28 tahun-Red), kini tengah terbaring sakit di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan. Beliau sedang berjuang melawan penyakit lumpuh yang menginggapinya sejak beberapa tahun terakhir.
Diceritakan oleh Syaiful Hadi Chalid; pada acara pembukaan, ketika pimpinan rapat mengajak hadirin membacakan doa untuk para pengurus NU yang masih hidup, yang disebut hanya KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi, tanpa menyebut nama Idham Chalid.
Mengapa nama Idham Chalid tidak disebut? Padahal, selama 28 tahun, dia menjadi ketua umum PBNU (1956-1984), ketua Umum PBNU yang paling lama selama ini. "Mungkin, banyak yang mengira, Ayah sudah meninggal dunia," ujar putra Idham, Syaiful Hadi Chalid, kepada Republika.
Alasan ini masuk akal. Karena, lebih dari 10 tahun, tokoh kelahiran Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 88 tahun lalu itu sedang berbaring sakit. Dalam keadaan lumpuh dan tidak bisa bicara, dia dirawat di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan, yang merupakan bagian dari kompleks Daarut Maarif yang didirikannya pada tahun 1983 saat tidak aktif lagi di bidang politik. Perguruan Islam yang sampai kini masih berkembang baik didirikan sebagai bentuk komitmen Idham Chalid untuk menekuni bidang dakwah.
Sebelum menjadi ketua umum PBNU, pada Muktamar ke-19 NU di Palembang (28 April-1 Mei 1952), Idham Chalid datang sebagai utusan dari wilayah Kalimantan Selatan dan anggota pengurus PBNU. Pada muktamar ini, Idham dinobatkan sebagai sekretris PBNU. "Di Palembang inilah, NU memutuskan memisahkan diri dan menjadi partai politik sendiri pisah dari Masyumi. KH Masykur terpilih sebagai ketua umum dan saya menjadi sekretaris," ujar Idham Chalid sebagaimana dikisahkannya dalam buku

NAPAK TILAS PENGABDIAN IDHAM CHALID.
Idham mengakui, banyak reaksi yang muncul terhadap keputusan NU ini. Bahkan, ada yang menganggap sebagai kebijakan yang sangat keras dan dianggap dapat memecah umat Islam. Tapi, tokoh Masyumi, Dr Sukiman Wirjosanjojo, memaklumi keputusan keluarnya NU dari Masyumi.
Tak ada yang menyangka, keputusan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri akan mampu bersaing dengan partai politik lainnya. Dalam Pemilu 1955 itu, NU tampil sebagai kekuatan terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi.
Sejak itulah, karier Idham makin berkibar. Ia sempat menduduki sejumlah posisi penting. Di bidang eksekutif, ia beberapa kali ditunjuk menjadi menteri, termasuk wakil PM pada Kabinet Ali Sastroamidjojo.

KETIKA BUNG KARNO JATUH, PAK HARTO

menunjuknya sebagai anggota Presidium Kabinet Ampera bersama Sultan Hamengku Buwono IX dan Adam Malik. Idham yang menguasai bahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang diangkat menjadi ketua MPR/DPR (1971-1977).

DEMOKRASI TERPIMPIN
Ketika Dekrit Presiden diumumkan pada 5 Juli 1959, saat itu pula Demokrasi Terpimpin ditegakkan. Pada 9 Juli 1959, susunan Kabinet Kaiya diumumkan dan Soekarno sebagai PM. Bung Karno kemudian membubarkan Masyumi dan PSI ketika kedua partai ini mengancam tidak menyetujui anggaran negara. Sebaliknya, Masyumi dan PSI membentuk Liga Demokrasi. Tidak lama kemudian, DPR Gotong Royong terbentuk.
NU mengalami perbedaan pendapat mengenai keabsahan keikutsertaannya dalam DPR GR ini. Di satu pihak, KH Bisri Syansuri, KH Dahlan, Imron Rosyadi, dan KH Achmad Siddiq menganggap DPR GR antidemokrasi. Bagi KH Bisri, ikut serta dalam sebuah DPR yang anggota-anggotanya tidak seluruhnya dipilih rakyat bertentangan dengan fikih.
Di lain pihak, KH Wahab Hasbullah menjelaskan bahwa NU tidak punya pilihan. Ia memaparkan semuanya, dari kemungkinan dilarangnya NU hingga keluarnya partai tradisional dari pemerintahan. Baginya, umat Islam belum siap melakukan politik konfrontasi menghadapi penguasa. Apabila NU ingin meninggalkan DPR. ia akan selalu melaksanakannya.
Idham selaku ketua umum dan sekjen Saifudin Zuhri menyatakan bahwa kebijakan PBNU memberi kesempatan kepada anggota NU yang ditunjuk kepala negara duduk dalam Kabinet Kaiya dan Dewan Nasional. Hal ini didasarkan untuk mencegah datangnya mudarat yang lebih besar daripada mencari kebalikan sebagaimana kaidah fikih yang berbunyi, Darul mafasid muqaddamum ala jalb al-masalih.

BERSAING KETAT
Dalam jabatannya sebagai orang nomor satu di PBNU, karier Idham Chalid tidak selalu mulus. Ada pernak-pernik yang timbul selama masa kepemimpinannya.
Pada tahun 1970, dalam Muktamar NU di Surabaya, Idham bersaing ketat dengan Subchan ZE, tokoh muda NU yang sedang menanjak dan kala itu menjabat sebagai ketua I PBNU. Penulis, yang ketika itu ikut meliput Muktamar NU pada 40 tahun lalu, menyaksikan bagaimana kedua kubu saling bertarung. Pertarungan antarkedua kandidat ini semakin besar dengan munculnya suara-suara dari pendukungnya.
Dalam menghadapi pers, penulis menyaksikan gaya Idham Chalid yang tampak lebih tenang. Lebih-lebih saat berhadapan dengan para ulama. Ia menunjukkan sikap yang tawadhu.
Melihat kondisi yang demikian memanas, penulis awalnya memperkirakan bahwa persaingan itu akan dimenangkan oleh Subchan. Apalagi, dia sangat berperan dalam aksi-aksi pengganyangan Gestapu/PKI. Subchan adalah tokoh yang mendapat dukungan kelompok muda NU.
Namun, berkat kepandaian dan karismanya, Idham Chalid tetap dipercaya peserta muktamar untuk kembali memimpin NU.
Dalam Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, yang dibuka oleh presiden Soeharto, terjadi keputusan penting. NU kembali ke Khitah 1926 yang menyatakan NU tidak lagi menjadi partai politik. Karena itu, NU tidak melakukan kegiatan politik praktis. Akan tetapi, seperti tulis Idham, sebenarnya gagasan untuk kembali ke Khitah 1926 telah diambil dalam beberapa muktamar sebelumnya. Salah satunya adalah Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo. Pada muktamar di Surabaya tahun 1971, juga muncul gagasan kembali ke Khitah 1926 dan juga muktamar di Semarang (1979).
Meski sudah sangat jelas, ternyata gagasan kembali ke Khitah 1926 baru sampai pada tingkat konsepsional. Sehingga, selama periode lima tahun setelah Muktamar ke-26, posisi NU tetap mengambang dan serbacang-gung dalam melangkah. Kaki yang satu sudah berada di luar PPP, tapi kaki yang lain masih terbenam di dalamnya. Posisi ini oleh sebagian ulama dirasakan sebagai krisis identitas.
Situasi ini telah menimbulkan konflik secara internal di kalangan ulama NU. Situasi ini semakin memprihatinkan setelah wafatnya Rais Aam PBNU.KH Bisri Syansuri dan sakitnya ketua umum Idham Chalid. Saat itu, semakin memanas perselisihan antara kelompok Cipete dan kelompok Situbondo. Kedua-duanya mendapatkan dukungan para ulama dan pimpinan NU di daerah-daerah. NU hampir terpuruk dalam jurang perpecahan.
Pada 2 Mei 1982, Idham Chalid didatangi empat ulama senior yang memintanya untuk mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Awalnya, Idham sempat memutuskan mengundurkan diri. Namun, pada 14 Mei 1982, Idham menegaskan, dirinya tetap berkiprah di NU hingga akhir kepemimpinannya. Pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, Idham resmi mundur dari kepengurusan PBNU. Ia pun kemudian kembali ke jalurnya, berdakwah dan mengurusi lembaga pendidikan.
Tapi, Idham menjelaskannya kepada penulis bahwa seperti tradisi NU, perbedaan antara kedua kubu tidak sampai membawa permusuhan. Setelah saling memaafkan, para kiai sepuh dan Idham sering bertemu. Tidak ada dendam dan kebencian dalam hati saya," tutur Idham saat itu kepada Republika. ) sya
Dr KH Idham Chalid, yang telah memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia itu selama kurang lebih tiga dasawarsa (tepatnya 28 tahun-Red), kini tengah terbaring sakit di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan. pada acara pembukaan, ketika pimpinan rapat mengajak hadirin membacakan doa untuk para pengurus NU yang masih hidup, yang disebut hanya KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi, tanpa menyebut nama Idham Chalid. Dalam keadaan lumpuh dan tidak bisa bicara, dia dirawat di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan, yang merupakan bagian dari kompleks Daarut Maarif yang didirikannya pada tahun 1983 saat tidak aktif lagi di bidang politik. Sebelum menjadi ketua umum PBNU, pada Muktamar ke-19 NU di Palembang (28 April-1 Mei 1952), Idham Chalid datang sebagai utusan dari wilayah Kalimantan Selatan dan anggota pengurus PBNU. KH Masykur terpilih sebagai ketua umum dan saya menjadi sekretaris," ujar Idham Chalid sebagaimana dikisahkannya dalam buku Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid. Tak ada yang menyangka, keputusan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri akan mampu bersaing dengan partai politik lainnya. Idham selaku ketua umum dan sekjen Saifudin Zuhri menyatakan bahwa kebijakan PBNU memberi kesempatan kepada anggota NU yang ditunjuk kepala negara duduk dalam Kabinet Kaiya dan Dewan Nasional. Pada tahun 1970, dalam Muktamar NU di Surabaya, Idham bersaing ketat dengan Subchan ZE, tokoh muda NU yang sedang menanjak dan kala itu menjabat sebagai ketua I PBNU. NU kembali ke Khitah 1926 yang menyatakan NU tidak lagi menjadi partai politik.

( Sumber : http://www.republika.co.id )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar