Petugas Haji Kloter 1 Embarkasi Banjarmasin 2010

Ketua Kloter (TPHI) : Drs.H.Munadi Sutera Ali, M.M.Pd. Pembimbing Ibadah : H.Sarmadi Mawardi,Lc.,S.Pd.I Dokter (TKHI) : dr.Hj.Nor Salehah Paramedis (TKHI) : H. Irpani,S.Kep Paramedis (TKHI) : H.Gunawan,S.ST. TPHD : Drs.H.Gazali Rahman,M.Si

Senin, 18 April 2011

Pemikiran Sang Kiyai

RMI: IDHAM CHALID INGIN PESANTREN NU BERSATU
Editor: Priyambodo RH

Semarang (ANTARA News) - Koordinator Rabithah Ma`ahidil Islamiyah (RMI) Wilayah Barat, K.H. Zaim Ahmad Ma`shoem, menilai mendiang K.H. Idham Chalid sangat menginginkan agar pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) bersatu.
"Semasa hidup, Pak Idham sangat peduli dengan perkembangan dunia pesantren, terutama pesantren NU sehingga kami sangat berduka," kata pria yang akrab disapa Gus Zaim itu saat dihubungi dari Semarang, Minggu.
Menurut dia, wafatnya K.H. Idham Chalid meninggalkan duka yang sangat mendalam di kalangan warga Nahdliyin, khususnya seluruh asosiasi pondok pesantren NU yang berada di bawah naungan RMI.
"Beliau (K.H. Idham Chalid, red.) adalah salah satu tokoh yang memelopori terbentuknya RMI," kata Gus Zaim yang juga mantan Ketua RMI Jawa Tengah, sayap organisasi NU yang membawahi pondok pesantren tersebut.
Sebelum terbentuk RMI, kata dia, pondok pesantren NU bernaung di bawah lembaga Ittihadul Ma`ahid, namun dalam perkembangannya berubah menjadi RMI yang menaungi pondok pesantren hingga sekarang.
Ia mengatakan latar belakang pendirian RMI itu tentunya tidak lepas dari keinginan agar kalangan pondok pesantren bersatu, mengingat persatuan pondok pesantren bisa menjadi upaya menuju persatuan Indonesia.
"Saya pribadi tidak terlalu mengikuti pemikiran-pemikiran Pak Idham, namun hubungan beliau dengan keluarga kakek saya (K.H. Ma`shoem Ahmad - Pendiri Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem) sangat erat," katanya.
Gus Zaim menceritakan kisah menarik terkait mendiang K.H. Idham Chalid yang selalu datang ke Lasem setelah menerima kiriman surat yang keluarga K.H. Ma`shoem Ahmad dalam huruf Arab pegon (tanpa harakat).
"Kebetulan yang sering menulis nenek saya (Nyai Nuriyah - istri K.H. Ma`shoem Ahmad). Sudah tulisannya Arab pegon yang susah dibaca, ditambah gaya penulisannya yang khas membuatnya terlihat rumit," katanya.
Setiap menerima surat dari keluarga Ponpes Lasem, lanjutnya, K.H. Idham Chalid langsung menyempatkan datang di tengah kesibukannya di perpolitikan, padahal yang bersangkutan belum membaca isi surat itu.
"Ketika K.H. Idham Chalid datang lalu ditanyakan apakah sudah membaca isi surat itu, dan beliau pasti menjawab `Belum, tetapi saya yakin isinya penting makanya datang ke sini (Lasem)," katanya, seraya tertawa.
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan kedekatan hubungan K.H. Idham Chalid dengan keluarga K.H. Ma`shoem Ahmad karena tetap menyempatkan datang ke Lasem meskipun kesibukannya ketika itu sangat luar biasa.
Terkait pemikiran mendiang K.H. Idham Chalid secara garis besar, ia mengatakan pemikiran tokoh termuda yang pernah memimpin NU itu sebenarnya hampir sama dengan pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Keduanya sama-sama berpikiran ke depan, tetapi yang membedakan pemikiran Gus Dur bersifat meloncat sehingga sering susah dipahami," kata pengasuh Ponpes Kauman Lasem itu.
Mantan Ketua PBNU dan Ketua MPR/DPR K.H. Idham Chalid meninggal dunia dalam usia 88 tahun di kediamannya di Ponpes Daarul Maarif, Cipete, Jakarta, Minggu, pukul 08.00 WIB, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir.
( Sumber : http://hileud.com )

PRESIDEN SBY: IDHAM CHALID ARSITEK PARTAI POLITIK
Oleh : Frida Astuti - Okezone

JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah, negara, dan pribadi, mengucapkan belasungkawa atas wafatnya almarhum Idham Chalid. Presiden menyebut Idham sebagai sosok yang banyak jasanya bagi pemerintah dan umat Islam.
“Kita mengenal beliau adalah tokoh besar dengan pemikiran besar, dengan jasa besar di pemerintahan beliau sangat aktif, bahkan di waktu usia masih muda,” ungkap Presiden SBY saat melayat di kediaman almarhum di Jalan Cipete, Fatmawati, Jakarta Selatan, Senin (12/7/2010).
Presiden membeberkan, di pemerintahan Presiden Soekarno, pria kelahiran Kalimantan Selatan 88 tahun silam ini, pernah menjabat sebagai wakil Perdana Menteri. Pada waktu pergantian pemerintahan mendiang Soeharto, Idham juga dipercaya memegang jabatan penting.
“Di bidang parlemen juga pernah memimpin DPR/MPR. Bahkan sebagai pertimbangan agung, posisi yang sangat mulia. Di bidang pergerakan organisasi Islam, beliau memimpin NU. Dengan segala kepemimpinan dan prakarsanya. Kenangan pada masa pemerintahan Soeharto beliau adalah arsitek luar biasa, menata partai-partai politik,” tambah Presiden SBY.
Presiden SBY menambahkan terlalu banyak jasa yang dapat diungkapkan untuk almarhum.
“Kita ungkapkan apa yang dilakukan alamrhum, baik di bidang pemerintahan negara, pemajuan umat Islam, bahkan bidang politik. Karena itu atas nama negara pemerintah dan pribadi, sekali lagi saya ucapkan belasungkawa dan keluarga tawakal menerima musibah dan cobaan dan semoga almarhum tenang di sisi Allah,” tutup Presiden.
( Sumber : http://hileud.com )

KH IDHAM CHALID DIMAKAMKAN
Editor: AA Ariwibowo

Cisarua, Bogor (ANTARA News) - Mantan Wakil Perdana Menteri, Mantan Ketua MPR/DPR dan mantan Ketua Umum Tanfidziah PBNU KH Idham Chalid, Senin siang dimakamkan di kompleks makam keluarga Pondok Pesantren Darul Quran Cisarua Bogor.
Upacara pemakaman kenegaraan dipimpin oleh inspektur upacara menteri agama Suryadharma Ali.
Jenazah salah satu tokoh Partai Persatuan Pembangunan itu diberangkatkan dari rumah duka di kawasan Cipete Jakarta Selatan pukul 10:00 WIB dan tiba di Cisarua pukul 11:00 WIB. Prosesi pemakaman dilangsungkan mulai pukul 12:00 WIB.
Menteri agama selaku perwakilan dari negara, memulai upcara persada, yaitu upacara menandai dimakamkannya salah satu putera terbaik bangsa dan diikuti kemudian oleh tembakan salvo dan lagu gugur bunga saat jenazah diturunkan ke liang lahat.
Sekitar 1.000 pelayat hadir dalam upacara pemakaman tersebut. Sebelum dimakamkan, jenazah sempat disholatkan di masjid yang berada di kompleks pondok pesantren tersebut.
Bendera merah putih yang menyelubungi keranda jenazah kemudian dilipat dan diberikan kepada anggota keluarga KH Idhan Chalid setelah jenazah diturunkan ke liang lahat.
KH Idham Chalid meninggal pada usia 88 tahun, Minggu (11/7) karena sakit.
Sejumlah tokoh agama maupun tokoh politik merasa kehilangan atas kepergian tokoh yang memiliki rekam jejak di bidang politik dan keagamaan itu.

( Sumber : http://hileud.com)


KH ZAINUDDIN MZ: IDHAM CHALID TOKOH MULTIDIMENSI
Editor: Priyambodo RH


Jakarta (ANTARA News) - Ulama berjulukan "Kiai Sejuta Umat", KH Zainuddin MZ, menilai Indonesia telah kehilangan seorang tokoh multidimensi yang telah bertahan dalam kepemerintahan selama tiga masa, yaitu KH Idham Chalid.
"Beliau tokoh yang bisa dilihat dari berbagai dimensi, dari segi politik, beliau tokoh yang sangat lugas dan bertahan di tiga zaman, yaitu kemerdekaan, Bung Karno dan sebagian di era Pak Harto," katanya saat melayat ke rumah keluarga Idham Chalid di Pesantren Daarul Maarif, Cipete, Jakarta, Selatan.
Zainudding menilai Bapak Pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu sebagai ulama yang lugas dan moderat yang mampu menjaga kehormatan dalam berpolitik.
"Dari segi keagamaan beliau 30 tahun lebih memimpin Nahdlatul Ulama dan tingkat kealiman beliau sebagai ulama sangat mumpuni," ujarnya.
Zainuddin mengaku telah mengenal mantan Ketua DPR/MPR periode 1972-1977 itu sejak ia masih belajar di sekolah dasar. Ia mengaku mempelajari ilmu dakwah dari Idham yang dinilainya sebagai orator ulung sekelas Bung Karno.
"Beliau ulama, politisi dan birokrat yang bisa memadukan semua. Saya melihat masa beliau dan Gus Dur itulah masa-masa keemasan NU, setelah kemari NU itu cenderung membesarkan pengurusnya," tuturnya.
Pada kesempatan itu, hadir pula beberapa tokoh nasional, antara lain mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Ali Masykur Musa dan Ketua Komisi Pemilihan Umum A. Hafiz Anshary.
DR KH Idham Chalid wafat pada Minggu pukul 08.00 WIB di rumahnya dan akan dimakamkan esok hari, Senin (12/7) di Pesantren Quran Cisarua, Bogor.
Almarhum meninggal dunia setelah sebelumnya selama sembilan tahun mengalami stroke dan sempat mengalami serangan jantung pada 1999.
Idham Chalid lahir di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1922. Anak Sulung dari lima bersaudara itu meninggalkan 16 orang anak, 35 cucu dan tujuh cicit.
( Sumber : http://hileud.com)


KIAI IDHAM CHALID, PEMIMPIN BESAR DARI AMUNTAI
Ahmad Fahir

Anggapan sebagian orang bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa (ormas) Islam yang bercorak Jawa dan tersentralisasi di Pulau Jawa patut diluruskan. Begitu pula dengan pameo yang menyebut bahwa pimpinan ormas terbesar di Indonesia tersebut mesti berdarah Jawa, terutama Jawa Timur, juga tidak tepat.
Doktor Kiai Haji Idham Chalid (88) yang menghembuskan nafas terakhir pada Minggu pagi pukul0 8.00 WIB di Cipete Jakarta Selatan merupakan fakta sejarah yang paling sahih untuk mematahkan berbagai penilaian sepihak terhadap NU.
Ulama kharismatis NU tersebut bahkan telah menghilangkan dikotomi Jawa non-Jawa dalam konteks politik nasional jauh-jauh hari sebelum banyak pihak memperbincangkannya, yakni sejak tahun 1956 silam atau hanya berselang sembilan tahun setelah kemerdekaan Indonesia.
Kiai Idham Chalid merupakan salah satu tokoh terbesar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Semasa hidupnya, beliau mencurahkan pengabdian bagi bangsa ini melalui NU, ormas Islam terbesar di Indonesia maupun dunia, yang ia geluti sejak masih usia kanak-kanak.
Kiai Idham yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung lima bersaudara dari H Muhammad Chalid.
Saat usianya baru enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Idham tercatat sebagai tokoh termuda yang pernah memimpin NU. Idham dipilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1956. Saat itu usia Idham baru 34 tahun. Sebuah catatan dan prestasi yang fenomenal baik pada masa tersebut maupun masa kini.
Karir Idham di ormas yang didirikan ulama dan memiliki akar kuat baik di pedesaan maupun di perkotaan tersebut terbilang sangat cemerlang. Semasa kepemimpinan Idham di PBNU tidak pernah terjadi gejolak internal. Selain itu kepemimpinan Idham di NU juga paling lama yaitu 28 tahun. Idham menjabat ketua umum PBNU mulai tahun 1956 hingga 1984.
Sebagian kalangan mengatakan, bila tidak ada gerakan kembali ke ?khittah 1926? yang dimotori KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dkk, posisi Kiai Idham sebagai ketum PBNU tidak tergantikan.
Khittah menjadi senjata ampuh bagi poros Situbondo –istilah untuk untuk menyebut gerakan yang dimotori Gus Dur– untuk melengserkan Kiai Idham dari tampuk kepemimpinan di PBNU.
Gerakan Khittah tersebut sempat membuat NU terbelah dan menjadi dua poros besar yaitu Situbondo dan Cipete. Istilah Cipete merupakan kediaman Kiai Idham dan merujuk pada pendukung Kiai Idham yang saat itu sangat banyak dan loyal.

BUKAN DARAH BIRU

Idham Chalid merupakan tokoh besar bangsa Indonesia yang telah memberikan teladan dan inspirasi. Beliau telah ikut meletakkan dasar-dasar berbangsa dengan mewujudkan kebersamaan dan menghilangkan dikotomi antara Jawa dan Luar Jawa.
Andil Idham dalam membangun tatasan kehidupan politik berbangsa yang harmonis tanpa diskriminasi, tidak lepas dari keberadaan NU yang menghargai egalitarianisme serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua kader untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi NU.
Selain memberikan kesempatan kepada Idham untuk menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1956, jauh-jauh hari sebelumnya NU sudah menghilangkan jarak pemisah antara Jawa dengan Luar Jawa dengan menggelar Muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1936 atau sembilan tahun sebelum Indonesia merdeka.
Penyelenggaraan Muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936 serta dipilihnya Idham Chalid menjadi ketua umum PBNU pada Muktamar ke-21 di Luar Jawa, tepatnya di Medan, Sumatera Utara, semakin mengukuhkan posisi NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia serta meminjam istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jangkar strategis nasional.
Kepemimpinan Idham di PBNU selain berdampak positif bagi iklim organisasi dengan mematahkan mitos Jawa dan Luar Jawa juga menghapus mitos bahwa ketua umum PBNU harus memiliki darah biru.
Darah biru merupakan istilah dalam NU, yang dapat diartikan sebagai keturunan ulama besar yang terpandang. Dalam tradisi NU di Jawa, biasanya dipanggil dengan sebutan Gus.
Uniknya, Idham selain bukan berasal dari Jawa juga bukan merupakan anak ulama besar terpandang, bahkan di Kalimantan Selatan sekalipun. H Muhammad Chalid, ayah Idham, hanya berprofesi sebagai penghulu di pelosok Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Keluasan pergaulan, kemahiran retorika serta kepiawan dalam melobi mengantarkan Idham sebagai tokoh besar pemimpin nasional baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru.

DARI BAWAH
Panggung politik baik dalam aras nasional maupun global banyak dipengaruhi oleh faktor keturunan atau lebih dikenal dengan istilah dinasti, tradisi fedalisme yang mewariskan kuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi dinasti banyak ditemukan baik di Indonesia maupun luar negeri. Bahkan di negara semodern Amerika Serikat pun masih banyak ditemukan praktik dinasti.
Istilah dinasti tidak berlaku bagi Kiai Idham Chalid. Idham merupakan sosok pemimpin yang terlahir secara alami dari bawah. Ia tidak mengandalkan faktor dinasti maupun kekuatan materi, dua faktor terpenting dalam berpolitik, dalam merintis karirnya yang panjang dan cemerlang.
Idham menjadi pemimpin besar karena kapasitas personal, kegigihan dalam perjuangan serta kemauan keras untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi bangsa dan agama.
Arif Mudatsir Mandan, tokoh PPP yang juga penulis buku “Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid” mencatat sosok Kiai Idham merupakan teladan bagi generasi muda NU dan bangsa Indonesia. Beliau adalah sosok pemimpin besar yang lahir dari bawah.
“Kiprah dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok yang berasal dari warga kota besar. Ia hanyalah putra kampung yang merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak kepemimpinan nasional yang disegani hingga kini, ujar Arif.
Kalangan pengamat politik Indonesia, banyak mencatat bahwa Idham Chalid merupakan salah seorang dari sedikit politisi Indonesia yang mampu bertahan pada segala cuaca.
Ia pernah menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan, dan dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk Partai NU. Ia pernah pula menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali-Roem-Idham, dalam usia yang masih sangat belia, 34 tahun. Sejak itu Idham Chalid terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan.
Di organisasinya, ia dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin NU di tengah cuaca politik yang sulit, dengan memberinya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU selama 28 tahun (1956-1984).
Di samping berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia juga dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956 – 1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan.
Presiden Soeharto memberinya kepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 – 1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970 – 1971) dan setelah itu Ketua MPR/DPR RI (1971 – 1977) dan Ketua DPA (1977 -1983).
Ketika partai-partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, pada tanggal 5 Januari 1973, mantan guru agama Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini menjadi ketua, sekaligus Presiden PPP.
Dari sisi wawasan keilmuwan dan kemahiran, sosok Idham Chalid dikenal sebagai ulama yang mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang. Ia juga menyandang gelar doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Idham Chalid merupakan khazanah yang tak ternilai bagi bangsa ini.

MIMPIN NU 28 TANPA GEJOLAK

KH Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU 1999-2010 mengemukakan kekagumannya pada sosok Idham karena berhasil memimpin PBNU selama 28 tahun.
Selain kagum, Hasyim juga mengaku ?iri? pada Idham, karena selama 28 tahun menjadi ketua umum PBNU tanpa ada gejolak berarti.
Sebagai ketua umum PBNU, saya termasuk orang yang mengagumi beliau, karena memimpin NU selama 28 tahun dan tidak ada gejolak dalam NU selama beliau memimpin. Ini sangat sulit. Kalau saya, memimpin NU 8 tahun saja ruwetnya bukan main,? katanya.
Dikatakannya, Kiai Idham Chalid juga telah berhasil membawa NU keluar dari masa-masa pelik, bahkan genting saat Indonesia masih berusia muda dengan dinamika politik yang luar biasa.
Pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai NU. Selanjutnya, tahun 1955 yang penuh gejolak karena demokrasi liberal berjalan selama 4 tahun dan tahun 1959 masuk dekrit presiden. Lalu tahun 1960 Bung Karno menjalankan Manipol Usdek yang berjalan 5 tahun sampai tertengahan tahun 1966.
Suasana krisis juga belum berakhir karena terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Tahun 1967-1969, posisi NU justru terjepit. Tahun 1971 pemilu yang pertama masa Soeharto dan NU sangat berat karena dihajar habis oleh Golkar.
Dijelaskannya menyelamatkan jamaah NU yang yang sedemikian banyak memerlukan kepribadian arif dan tangguh. Hasyim Muzadi menilia, “Orang yang mengerti Pak Idham menyatakan beliau orang yang istikomah dalam berbagai situasi, tetapi orang yang tidak cocok pasti mengatakan oportunis, karena dari masa ke masa selalu mendapatkan tempat.”
Meskipun berbeda pandangan politik, Hasyim mengatakan Kiai Idham tetap menjalin silaturrahmi dan ukhuwah dengan Buya Hamka.”Perbedaan partai ini tidak mengurangi silaturrahmi dengan yang lain sehingga Pak Idham dengan Buya Hamka. Ketidakharmonisan dalam bidang politik tidak harus membuat pemimpin tidak harmonis dalam ukhuwwah,” imbuhnya.
Kiai Hasyim berharap keberhasilan KH Idham Cholid dalam memimpin NU dapat menjadi pelajaran dalam mengembangkan NU ke depan agar semakin jaya. “NU punya kemulyaan dan harus kita bangun kemuliaan baru ini menyongsong masa depan, tandasnya memberikan semangat.
( Oleh : http://www.muslim-nias.org)





RMI: IDHAM CHALID INGIN PESANTREN NU BERSATU

SEMARANG (Arrahmah.com) - Koordinator Rabithah Ma`ahidil Islamiyah (RMI) Wilayah Barat, K.H. Zaim Ahmad Ma`shoem, menilai mendiang K.H. Idham Chalid sangat menginginkan agar pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) bersatu.
"Semasa hidup, Pak Idham sangat peduli dengan perkembangan dunia pesantren, terutama pesantren NU sehingga kami sangat berduka," kata pria yang akrab disapa Gus Zaim itu saat dihubungi dari Semarang, Minggu.
Menurut dia, wafatnya K.H. Idham Chalid meninggalkan duka yang sangat mendalam di kalangan warga Nahdliyin, khususnya seluruh asosiasi pondok pesantren NU yang berada di bawah naungan RMI.
"Beliau (K.H. Idham Chalid, red.) adalah salah satu tokoh yang memelopori terbentuknya RMI," kata Gus Zaim yang juga mantan Ketua RMI Jawa Tengah, sayap organisasi NU yang membawahi pondok pesantren tersebut.
Sebelum terbentuk RMI, kata dia, pondok pesantren NU bernaung di bawah lembaga Ittihadul Ma`ahid, namun dalam perkembangannya berubah menjadi RMI yang menaungi pondok pesantren hingga sekarang.
Ia mengatakan latar belakang pendirian RMI itu tentunya tidak lepas dari keinginan agar kalangan pondok pesantren bersatu, mengingat persatuan pondok pesantren bisa menjadi upaya menuju persatuan Indonesia.
"Saya pribadi tidak terlalu mengikuti pemikiran-pemikiran Pak Idham, namun hubungan beliau dengan keluarga kakek saya (K.H. Ma`shoem Ahmad - Pendiri Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem) sangat erat," katanya.
Gus Zaim menceritakan kisah menarik terkait mendiang K.H. Idham Chalid yang selalu datang ke Lasem setelah menerima kiriman surat yang keluarga K.H. Ma`shoem Ahmad dalam huruf Arab pegon (tanpa harakat).
"Kebetulan yang sering menulis nenek saya (Nyai Nuriyah - istri K.H. Ma`shoem Ahmad). Sudah tulisannya Arab pegon yang susah dibaca, ditambah gaya penulisannya yang khas membuatnya terlihat rumit," katanya.
Setiap menerima surat dari keluarga Ponpes Lasem, lanjutnya, K.H. Idham Chalid langsung menyempatkan datang di tengah kesibukannya di perpolitikan, padahal yang bersangkutan belum membaca isi surat itu.
"Ketika K.H. Idham Chalid datang lalu ditanyakan apakah sudah membaca isi surat itu, dan beliau pasti menjawab `Belum, tetapi saya yakin isinya penting makanya datang ke sini (Lasem)," katanya, seraya tertawa.
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan kedekatan hubungan K.H. Idham Chalid dengan keluarga K.H. Ma`shoem Ahmad karena tetap menyempatkan datang ke Lasem meskipun kesibukannya ketika itu sangat luar biasa.
Terkait pemikiran mendiang K.H. Idham Chalid secara garis besar, ia mengatakan pemikiran tokoh termuda yang pernah memimpin NU itu sebenarnya hampir sama dengan pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Keduanya sama-sama berpikiran ke depan, tetapi yang membedakan pemikiran Gus Dur bersifat meloncat sehingga sering susah dipahami," kata pengasuh Ponpes Kauman Lasem itu.
Mantan Ketua PBNU dan Ketua MPR/DPR K.H. Idham Chalid meninggal dunia dalam usia 88 tahun di kediamannya di Ponpes Daarul Maarif, Cipete, Jakarta, Minggu, pukul 08.00 WIB, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir. (Sumber : http://arrahmah.com)


KH IDHAM CHALID, KIPRAH ULAMA DAN POLITISI HANDAL NUSANTARA
Editor : Imam maruf

KABARHAJI--IdhamChalid adalah sosok istimewa dan fenomenal dalam sejarah bangsa Indonesia. Beliau adalah politisi handal yang mampu berkibar dalam dua era, yakni orde lama dan orde baru.
Tokoh yang sempat menduduki jabatan ketua Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama hingga 28 tahun, yakni sejak 1956 sampai 1984.
Beliau dilahirkan di Setui, kecamatan Kotabaru, bagian Tenggara Kalimantan Selatan tanggal 27 Agustus 1922. Putra sulung dari lima bersaudara, anak seorang penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah bernama H. Muhammad Chalid.
Dalam buku biografinya, almarhum Idham kecil, saat berusi 6 tahun hijrah dari tanah kelahiran di Setui ke Amuntai, di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Beliau adalah tokoh besar bangsa Indonesia yang kiprahnya banyak dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Usai menunaikan pendidikan di pesantren beliau memulai kiprahnya ketika NU masih bergabung dengan Masyumi tahun 1950. Sempat menjadi Ketua Partai Bulan Bintang Kalimantan Selatan dan menjadi anggota DPRD Kalsel.
Kiprahnya di NU mengantarkan Idham Chalid menjadi pucuk pimpinan tertinggi NU tahun 1956 dalam usia yang masih sangat muda, 34 tahun. Kepiawaiannya dalam berpolitik sempat mengantarkannya menduduki tiga jabatan penting sekaligus, yakni di eksekutif, legislatif, dan ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR dan Ketua Nahdlatul Ulama)
Setelah NU memisahkan diri dari Masyumi, beliau menjadi salah satu pendiri partai NU dan menjadi ketuanya. Kiprahnya terus bersinar sebagai politisi, kyai dan tokoh masyarakat. Filosofi air yang mampu mencari tempat kemanapun arah berjalan adalah hal yang membawa Idham Chalid menduduki beragam posisi dan bisa diterima di berbagai kalangan dan tempat. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya. Demikian pula sebagai politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis sekalipun, meski tak jarang pula disalahpahami.
Namun semangat yang beliau tampakkan adalah visi perjuangan dalam berbagai peran dan selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.
Beliau bisa melampaui dua periode kepemimpinan dalam dua orde. Setelah kemunculan Orde Baru, Idham Chalid sempat dipercaya menjabat Menko Kesra pertama di masa Soeharto. Beliau pula yang mampu menyatukan beragam partai Islam ke dalam satu naungan atau dikenal fusi partai dan merupakan pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Banyak kalangan mengatakan bahwa amat jarang tokoh yang bisa seperti beliau. Ketokohannya sangat menonjol, sehingga pernah memimpin partai politik pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP.
Kepiawaian beliau ini pula yang mengantarkan beliau terus berada pada posisi puncak dala ormas Islam terbesar, Nahdlatul ulama selama 28 tahun. Dalam buku biografi karangan Ahmad Muhajir yang diluncurkan tahun 2008 lalu, beliau berpandangan, tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.
Baru pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.
Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, beliau kembali kepada bidang yang memang diminatinya, menjadi guru dan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.
Minggu pagi tanggal 11 Juli 2008 lalu, sekitar pukul 08.00, Idham Chalid meninggal dunia di kediamannya akibat sakit yang diderita dalam usia 88 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Komplek Pesantren Darul Quran, Cisarua Bogor yang merupakan komplek pesantren keluarganya.
Kepergiannya tentu meninggalkan kenangan yang sangat luar biasa bagi bangsa Indonesia karena ketokohan dan kiprahnya yang banyak diterima berbagai kalangan, terlebih kalangan warga Nahdlatul Ulama dan keluarga pesantren nusantara. Beliau juga termasuk penggagas penyatuan pondok pesantren nusantara dalam wadah Rabithah Ma’ahidil Islamiyah.
( Sumber : http://kabarhaji.com )

Minggu, 03 April 2011 | 6:39:14 WIB
Andi Arief

Sukses Selalu dan Terus Suarakan Aspirasi Rakyat

- Staff Khusus Presiden SBY -
images
Irjen Timur Pradopo

Selamat & Tetap Konsisten Menyampaikan Informasi yang benar

- Kapolda Metro Jaya -
images
Irjen Drs Edward Aritonang


Keluarga Besar Polda Jawa Tengah Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H.- Minal Aidin W a Faizin Mohon Maaf Lahir Batin

- Kapolda Jawa Tengah -
images
Drs Noegroho Djajoesman

Sukses & Semoga menjadi media online yang terbaik

- Drs Noegroho Djajoesman -
images
Juniver Girsang, SH

Sukses & tetap memberikan informasi yang akurat

- Pengacara -
images
Irjen Drs Djoko Susilo

Semoga menjadi sarana lalu lintas informasi terbaik & terpercaya

- Kakorps Lantas Polri -
images
Hendardi

Jangan berhenti mengabarkan, kebebasan adalah hak kita

- BP SETARA Institute -
images
Trimedya Panjaitan, SH

Semoga menjadi media online yang mendapat tempat di masyarakat

- Anggota DPR RI -
images
Jhonson Panjaitan

Semoga menjadi media yang terdepan dalam mengungkap kebenaran

- Pengacara -
images

* Home
* Hukum
* Nasional
* Metro
* Halo Polisi
* Halo Gubernur
* Lampu Merah
* Olah raga
* Ekbis
* Dunia
* Seleb
* Batavia Kita

JL CIPETE RAYA DIUSULKAN JADI JL IDHAM CHALID
Oleh : Andi Arif

batavia.com - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Lulung A Lunggana mengusulkan mantan Ketua DPR/MPR almarhum Dr. KH. Idham Chalid sebagai nama salah satu jalan di Ibu Kota. Lulung mengusulkan nama Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan diganti dengan nama mantan Ketua DPA dan mantan Ketua Umum PBNU dari 1956 hingga 1984.
Menurut Lulung, sosok Idham sangat berjasa bagi bangsa dan negara. Karena itu, sebagai bentuk penghormatan, Lulung mengusulkan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta agar menjadikan Idham Chalid sebagai nama jalan.
“Jasa-jasa beliau sangat besar, jadi kami berpendapat sangat layak mendapat penghormatan. Kami mengusulkan kepada Pemprov DKI agar nama Idham Chalid dijadikan nama jalan Cipete Raya,” kata Lulung kepada wartawan di Jakarta, Senin 19 Juli 2010.
Dalam waktu dekat, pihaknya akan mengirimkan surat kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengenai masalah ini. Menurut dia, penghormatan kepada figur yang sangat berjasa terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menjadi tradisi.
Hal senanda juga diungkapkan, Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) Maman Firmansyah. Menurut dia, figur Idham Chalid sangat berjasa bagi NKRI. Terbukti, semasa hidupnya Idham menempati sejumlah jabatan strategis. Tak hanya itu, Idham merupakan Ketua Umum PBNU terlama.
“Almarhum itu merupakan salah satu tokoh terbaik milik NU yang berjasa bagi bangsa dan negara, selain almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid),” ujarnya.
Fraksi PPP sudah mengajukan usulan kepada pimpinan DPRD DKI Jakarta agar nama Idham Cholid dijadikan nama Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan. Selanjutnya, surat tersebut akan disampaikan ke Gubernur DKI.
Idham Chalid merupakan dekralator Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sekaligus mantan Ketua Umum PBNU selama 28 tahun (lima periode). Idham mengawali karirnya sebagai aktivis Nahdlatul Ulama, organisasai keagamaan terbesar di Indonesia. Sejak awal kiprahnya, karier Idham terus menanjak. Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi pada 1950, laki-laki yang dilahirkan di Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1921 ini, telah menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang, Kalimantan Selatan. Dia juga menjadi anggota DPR RIS (1949-1950). Dua tahun setelahnya, Idham terpilih menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (1952-1956). Kemudian, ia dipilih menjadi orang nomor satu NU pada 1956 hingga 1984.
Selama 28 tahun memimpin NU, Idham telah mengalami berbagai pasang surut. Di bidang eksekutif, ia beberapa kali jadi menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru. Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, Idham menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan setelah itu dia diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode 1972-1977. Jauh sebelumnya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Idham juga menjabat sebagai wakil perdana menteri. Dalam posisi pemerintahan, dia juga pernah mengemban tugas sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung menggantikan KPH Soetardjo Kartohadikoesoemo.
(Sumber : http://beritabatavia.com )

KH DR. IDHAM CHALID : TOKOH TIGA ZAMAN DAN POLITIKUS ULUNG
Oleh : Syamhudi
Jakarta, MediaProfesi.com – KH Dr. Idham Chalid, lahir di Satui, Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1922. Beliau tokoh besar, ulama besar dan tokoh nasional. Pada hari Ahad (11/7), pukul 08.00 WIB telah dipanggil oleh sang pencipta Allah SWT pada usia 88 tahun, setelah bergelut melawan sakit selama 10 tahun.
Kepergian Beliau untuk selamanya ini, telah membuat negara dan bangsa ini merasa kehilangan tokoh yang hidup di tiga zaman, yakni sejak zaman orde lama (orla), orde baru (orba) hingga era reformasi saat ini.
KH Amidhan Shaberah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga merupakan tokoh masyarakat Kalimantan di Jakarta, dalam suatu wawancara khusus dengan redaksi MediaProfesi.com di kantor MUI (14/7), menyatakan KH Dr. Idham Chalid merupakan tokoh besar, ulama besar, serta tokoh nasional. Karena Beliau selagi mudanya sudah dipercaya untuk menjabat beberapa jabatan yang penting di negara ini.
Bahkan beliau mengalami tiga zaman, yakni zaman Bung Karno yang disebut dengan orde lama (saya sendiri tidak setuju dengan istilah itu), kemudian zaman orde baru atau zamannya Soeharto dan era reformasi sekarang. Dalam tiga zaman itu Beliau menjabat masih muda, sekitar tahun 52 (waktu itu saya saja masih duduk dibangku SD) sudah Waperdam (Wakil Perdana Menteri) di Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Kemudian Beliau juga pernah menjabat sebagai Menko Kesra yang pertama (1968-1973), yang banyak menangani Keluarga Berencana (KB). Pada saat itu juga keluar beberapa fatwa dari ulama, termasuk fatwa ulama terbatas tentang tubektomi dan pasektomi, dan lain sebagainya.
Tak mengherankan waktu itu Indonesia menjadi pusat perhatian dunia sebagai pilot projek dalam penanganan KB dari segi agama. Banyak negara yang mengirim utusannya ke Indonesia untuk belajar dalam penanganan KB, karena Indonesia dianggap berhasil dalam menangani KB. Diantaranya dari Turki, Pakistan, India, dan beberapa dari negara Timur Tengah.
Kemudian Beliau pernah menjabat Menteri Sosial, dikala itu ada wacana diperbolehkannya perjudian yang saat itu namanya lotre dan nalo. Nah, Beliau bisalah mencarikan solusi dalam menangani hal yang semacam itu, sehingga tidak berbau judi dan sebagainya.
Beliau pernah menjabat Ketua DPR/MPR, Ketua DPA. Karena Beliau memang politisi ulung, yang sebelumnya beliau pernah menjadi Ketua Masyumi ketika Masyumi masih bersatu dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Namun Masyumi akhirnya memisahkan diri dari NU. Sehingga NU berdiri sendiri, maka secara aklamasi Beliau di daulat menjadi Ketua Umum NU. Dan Beliau memimpin NU luar biasa lama sekali, sekitar 28 tahun.
Kemudian ketika terjadinya penyederhanaan partai. Beliau pula lah pendiri sekaligus menduduki Ketua Umum pertama Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan sampai akhir hayatnya Beliau masih dianggap sebagai tokoh pendiri dan tokoh besar dari PPP.
Di dalam dunia islam, Beliau punya pengaruh yang sangat besar, misalnya Beliau mendapat gelar doktor kehormatan (HC) dari Universitas Al-Azhar Mesir.
Suatu hal yang sangat berkesan bagi saya terhadap Beliau, dimana Beliau sangat peduli untuk membantu orang lain. Sebagai orang Kalimantan pun beliau selalu kan orang kampung tidak mengerti itu, bahwa ini sudah tokoh nasional, pejabat negara. Bukannya Kalsel, tapi datang saja orang daerah kepada Beliau. Seperti ada yang minta urusan haji, wah janganlah itu bukan urusan saya. Tapi begitu orang tersebut mau keluar, apa tadi, apa nang ikam kahandaki nangapa? (apa tadi, yang kamu kehendaki? – Red) Nah, biasanya beiau memberikan solusi.
Di dalam partai, di dalam organisasi pun beliau itu yang saya ketahui, sering memberikan solusi, pemecahan masalah yang bisa mengarah kepada konflik di kalangan umat. Beliau itu seolah-olah filosofer yang bisa mencarikan solusi yang terbaik.
Dikalangan internasional itu tentu saja, ya itu tadi diantaranya Beliau diberi gelar doktor (Hc) dari Universitas Al-Azhar Mesir, artinya dunia Timur Tengah mengakui tentang kemampuan dan keilmuan Beliau, itu yang pertama.
Kedua, dengan menjabat Ketua DPR/MPR, Ketua DPA itu kan berinteraksi dengan lembaga-lembaga yang sama di dunia. Tentu itu juga ada pengaruhnya.
Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri meminta gelar kepahlawanan nasional almarhum KH Dr. Idham Chalid segera diusulkan ke Pemda tempat kelahiran sang tokoh. Hal itu agar usulan tersebut bisa dibahas oleh Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan.
"Kita semua merasa kehilangan. Karena itu usulan gelar pahlawan nasional harus disampaikan secara resmi kepada Pemda tempat kelahiran agar nanti dibahas Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan," kata Mensos dalam siaran pers, Minggu (11/7/2010).
Kalau saya sangat setuju lah, ujar Amidhan atas usul Mensos tersebut, terlalu banyak jasanya kepada bangsa ini. Walaupun Beliau itu sebagai orang Kalimantan, dimana sifat orang Kalimantan itu tidak mau menonjolkan diri.
Namun jasanya itu luar biasa, dilihat dari masa mudanya itu sudah berkiprah ditingkat nasional. Coba bayangin pada tahun 1952 sudah menjabat Waperdam, itu kan tingkat nasional.
Jadi, kalau ada wacana, tapi kalau saya tidak wacana lagi, harus ada usul, nah itu yang mengusulkan sebaiknya Gubernur Kalsel lah. Apalagi Gubernur saat ini berasal dari PPP, namun boleh saja dimulai dari Bupati Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Sementara masyarakat Jakarta yang tergabung dalam Kerukunan Warga Kalimantan Selatan (KWKS) dan organisasi lain dari Kalimantan di Jabodetabek, itu perlu mengusulkan juga.
Nanti kalau saya sih tinggal tandatangan saja. Saya pribadi sangat setuju sekali, karena saat ini yang baru diberi gelar pahlawan nasional adalah ir. Pangeran Muhammad Noor, ini yang diakui zaman terakhir ini, di luar dari Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, Sultan Adam dan lain sebagainya, itu kan pahlawan yang lama.

( Sumber : http://mediaprofesi.com )

DR KH IDHAM CHALID
04 Apr 2010

* Ragam
* Republika

Dari Politik

Beralih

ke Pesantren

la menjabat ketua umum PBNU selama hampir tiga dasawarsa.
uktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar, baru saja berakhir pada Ahad (28 Maret 2010) dengan terpilihnya Rais Aam KH Sahal

Mahfudz dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siradj periode kepemimpinan 2010-2015. Kedua duet ini diharapkan mampu mengembalikan kejayaan NU.

Ketika semua mata tertuju pada perhelatan Muktamar ke-32 NU di Makassar itu, mungkin ada satu hal yang terlupakan oleh para muktamirin. Dialah Dr KH Idham Chalid. Dr KH Idham Chalid, yang telah memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia itu selama kurang lebih tiga dasawarsa (tepatnya 28 tahun-Red), kini tengah terbaring sakit di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan. Beliau sedang berjuang melawan penyakit lumpuh yang menginggapinya sejak beberapa tahun terakhir.

Diceritakan oleh Syaiful Hadi Chalid; pada acara pembukaan, ketika pimpinan rapat mengajak hadirin membacakan doa untuk para pengurus NU yang masih hidup, yang disebut hanya KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi, tanpa menyebut nama Idham Chalid.

Mengapa nama Idham Chalid tidak disebut? Padahal, selama 28 tahun, dia menjadi ketua umum PBNU (1956-1984), ketua Umum PBNU yang paling lama selama ini. "Mungkin, banyak yang mengira, Ayah sudah meninggal dunia," ujar putra Idham, Syaiful Hadi Chalid, kepada Republika.

Alasan ini masuk akal. Karena, lebih dari 10 tahun, tokoh kelahiran Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 88 tahun lalu itu sedang berbaring sakit. Dalam keadaan lumpuh dan tidak bisa bicara, dia dirawat di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan, yang merupakan bagian dari kompleks Daarut Maarif yang didirikannya pada tahun 1983 saat tidak aktif lagi di bidang politik. Perguruan Islam yang sampai kini masih berkembang baik didirikan sebagai bentuk komitmen Idham Chalid untuk menekuni bidang dakwah.

Sebelum menjadi ketua umum PBNU, pada Muktamar ke-19 NU di Palembang (28 April-1 Mei 1952), Idham Chalid datang sebagai utusan dari wilayah Kalimantan Selatan dan anggota pengurus PBNU. Pada muktamar ini, Idham dinobatkan sebagai sekretris PBNU. "Di Palembang inilah, NU memutuskan memisahkan diri dan menjadi partai politik sendiri pisah dari Masyumi. KH Masykur terpilih sebagai ketua umum dan saya menjadi sekretaris," ujar Idham Chalid sebagaimana dikisahkannya dalam buku Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid.

Idham mengakui, banyak reaksi yang muncul terhadap keputusan NU ini. Bahkan, ada yang menganggap sebagai kebijakan yang sangat keras dan dianggap dapat memecah umat Islam. Tapi, tokoh Masyumi, Dr Sukiman Wirjosanjojo, memaklumi keputusan keluarnya NU dari Masyumi.

Tak ada yang menyangka, keputusan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri akan mampu bersaing dengan partai politik lainnya. Dalam Pemilu 1955 itu, NU tampil sebagai kekuatan terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi.

Sejak itulah, karier Idham makin berkibar. Ia sempat menduduki sejumlah posisi penting. Di bidang eksekutif, ia beberapa kali ditunjuk menjadi menteri, termasuk wakil PM pada Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Ketika Bung Karno jatuh, Pak Harto

menunjuknya sebagai anggota Presidium Kabinet Ampera bersama Sultan Hamengku Buwono IX dan Adam Malik. Idham yang menguasai bahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang diangkat menjadi ketua MPR/DPR (1971-1977).

Demokrasi Terpimpin

Ketika Dekrit Presiden diumumkan pada 5 Juli 1959, saat itu pula Demokrasi Terpimpin ditegakkan. Pada 9 Juli 1959, susunan Kabinet Kaiya diumumkan dan Soekarno sebagai PM. Bung Karno kemudian membubarkan Masyumi dan PSI ketika kedua partai ini mengancam tidak menyetujui anggaran negara. Sebaliknya, Masyumi dan PSI membentuk Liga Demokrasi. Tidak lama kemudian, DPR Gotong Royong terbentuk.

NU mengalami perbedaan pendapat mengenai keabsahan keikutsertaannya dalam DPR GR ini. Di satu pihak, KH Bisri Syansuri, KH Dahlan, Imron Rosyadi, dan KH Achmad Siddiq menganggap DPR GR antidemokrasi. Bagi KH Bisri, ikut serta dalam sebuah DPR yang anggota-anggotanya tidak seluruhnya dipilih rakyat bertentangan dengan fikih.

Di lain pihak, KH Wahab Hasbullah menjelaskan bahwa NU tidak punya pilihan. Ia memaparkan semuanya, dari kemungkinan dilarangnya NU hingga keluarnya partai tradisional dari pemerintahan. Baginya, umat Islam belum siap melakukan politik konfrontasi menghadapi penguasa. Apabila NU ingin meninggalkan DPR. ia akan selalu melaksanakannya.

Idham selaku ketua umum dan sekjen Saifudin Zuhri menyatakan bahwa kebijakan PBNU memberi kesempatan kepada anggota NU yang ditunjuk kepala negara duduk dalam Kabinet Kaiya dan Dewan Nasional. Hal ini didasarkan untuk mencegah datangnya mudarat yang lebih besar daripada mencari kebalikan sebagaimana kaidah fikih yang berbunyi, Darul mafasid muqaddamum ala jalb al-masalih.

Bersaing ketat

Dalam jabatannya sebagai orang nomor satu di PBNU, karier Idham Chalid tidak selalu mulus. Ada pernak-pernik yang timbul selama masa kepemimpinannya.

Pada tahun 1970, dalam Muktamar NU di Surabaya, Idham bersaing ketat dengan Subchan ZE, tokoh muda NU yang sedang menanjak dan kala itu menjabat sebagai ketua I PBNU. Penulis, yang ketika itu ikut meliput Muktamar NU pada 40 tahun lalu, menyaksikan bagaimana kedua kubu saling bertarung. Pertarungan antarkedua kandidat ini semakin besar dengan munculnya suara-suara dari pendukungnya.

Dalam menghadapi pers, penulis menyaksikan gaya Idham Chalid yang tampak lebih tenang. Lebih-lebih saat berhadapan dengan para ulama. Ia menunjukkan sikap yang tawadhu.

Melihat kondisi yang demikian memanas, penulis awalnya memperkirakan bahwa persaingan itu akan dimenangkan oleh Subchan. Apalagi, dia sangat berperan dalam aksi-aksi pengganyangan Gestapu/PKI. Subchan adalah tokoh yang mendapat dukungan kelompok muda NU.

Namun, berkat kepandaian dan karismanya, Idham Chalid tetap dipercaya peserta muktamar untuk kembali memimpin NU.

Dalam Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, yang dibuka oleh presiden Soeharto, terjadi keputusan penting. NU kembali ke Khitah 1926 yang menyatakan NU tidak lagi menjadi partai politik. Karena itu, NU tidak melakukan kegiatan politik praktis. Akan tetapi, seperti tulis Idham, sebenarnya gagasan untuk kembali ke Khitah 1926 telah diambil dalam beberapa muktamar sebelumnya. Salah satunya adalah Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo. Pada muktamar di Surabaya tahun 1971, juga muncul gagasan kembali ke Khitah 1926 dan juga muktamar di Semarang (1979).

Meski sudah sangat jelas, ternyata gagasan kembali ke Khitah 1926 baru sampai pada tingkat konsepsional. Sehingga, selama periode lima tahun setelah Muktamar ke-26, posisi NU tetap mengambang dan serbacang-gung dalam melangkah. Kaki yang satu sudah berada di luar PPP, tapi kaki yang lain masih terbenam di dalamnya. Posisi ini oleh sebagian ulama dirasakan sebagai krisis identitas.

Situasi ini telah menimbulkan konflik secara internal di kalangan ulama NU. Situasi ini semakin memprihatinkan setelah wafatnya Rais Aam PBNU.KH Bisri Syansuri dan sakitnya ketua umum Idham Chalid. Saat itu, semakin memanas perselisihan antara kelompok Cipete dan kelompok Situbondo. Kedua-duanya mendapatkan dukungan para ulama dan pimpinan NU di daerah-daerah. NU hampir terpuruk dalam jurang perpecahan.

Pada 2 Mei 1982, Idham Chalid didatangi empat ulama senior yang memintanya untuk mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Awalnya, Idham sempat memutuskan mengundurkan diri. Namun, pada 14 Mei 1982, Idham menegaskan, dirinya tetap berkiprah di NU hingga akhir kepemimpinannya. Pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, Idham resmi mundur dari kepengurusan PBNU. Ia pun kemudian kembali ke jalurnya, berdakwah dan mengurusi lembaga pendidikan.

Tapi, Idham menjelaskannya kepada penulis bahwa seperti tradisi NU, perbedaan antara kedua kubu tidak sampai membawa permusuhan. Setelah saling memaafkan, para kiai sepuh dan Idham sering bertemu. Tidak ada dendam dan kebencian dalam hati saya," tutur Idham saat itu kepada Republika. )
( Sumber : http://bataviase.co.id )

IDHAM CHALID TOLAK TMP KALIBATA
KESEDERHANAAN. Itulah yang dipegang teguh tokoh sekaligus ulama Nahdlatul Ulama (NU) KH Idham Chalid (88) hingga akhir hayatnya. Merasa dirinya merupakan anak pondok, dia pun berpesan kepada keluarganya untuk dimakamkan di wilayah pondok pesantren. "Beliau berpesan supaya Jangan dikubur di Kalibata (taman makam pahlawan-Red).

Beliau Ingin dimakamkan di Pondok Darul Quran di Cisarua, Bogor," kata putra Idham Chalid, Syaiful Hadi, seperti dikutip okezone.com. Minggu (11/7). Idham Chalid tutup usia pada Minggu (11/7) pukul 08.00 di kediamannya di Jalan Fatmawati No 45. Cipete, Jakarta Selatan. Pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ini pernah menjabat wakil perdana menteri pada Kabinet All Sastroamidjojo II. Diajuga pernah menjadi Ketua Umum PBNU pada 1956. Karier pria kelahiran Tanahbumbu. Kalimantan Selatan, 27 . Agustus 1921 Ini di bidang politik terus menanjak. Pada tahun 1968 dia terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian pada 1972 mendapat kepercayaan menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), (tis)
( Sumber : http://bataviase.co.id )

WAPRES NILAI KH IDHAM CHALID POLITISI PENYEJUK

JAKARTA (Suara Karya) Wakil Presiden Boediono menilai, almarhum KH Idham Chalid sebagai ulama sekaligus politisi yang menyejukkan.

"Beliau adalah ulama dan politisi yang menyejukkan. Itu pendapat saya," katanya usai melayat di rumah duka di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Minggu malam.Wapres Boediono tiba di rumah duka sekitar pukul 20.00 WIB tanpa didampingi Ibu Herawati Boediono dan langsung menyampaikan ucapan belasungkawa kepada keluarga dan kerabat almarhum. Usai menyampaikan ucapan \elasungkawa. Wapres langsung berdoa di samping jenazah, didampingi dan diikuti kerabat dan keluarga almarhum.

Setelah berdoa. Wapres menanyakan rencana pemakaman yang akan dilakukan Senin (12/7) di Kompleks Pondok Pesantren Darul Quran, Cisarua, Bogor, sekaligus menanyakan kerabat dan pejabat yang telah melayat dan akan melayat termasuk kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin (12/7) pagi ke rumah duka.Idham Chalid lahir di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1922. Anak sulung dari lima bersaudara itu meninggalkan 16 orang anak, 35 cucu, dan tujuh cicit

Pada masa hidupnya, Idham pernah menjabat dua kali sebagai Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Kabinet Karya (1956-1957). Ia pernah pula menjabat sebagai Ketua DPR (1971), Ketua MPR (1972-1978), Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1978-1983), anggota Tim Penasehat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P7), dan anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).Hadir sejumlah tokoh untuk melayat antara lain Menteri Pemberdayaan Perermpuan dan Perlindungan Anak Lina Gumelar. Menteri Agama Suryadharma Alie. tokoh agama Kiai Zainuddin MZ, serta politisi Sulastomo.

Sementara itu, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana (Purn) Rudolf Kasenda meninggal dunia di Rumah Sakit Harapan Kita, Minggu, karena penyakit jantung yang dideritanya. Seorang kerabat dekat almarhum Nico Somputan saat dihubungi di Jakarta, mengungkapkan. Kasenda meninggal sekitar pukul 08.00 WIB. "Jenazah disemayamkan di Kompleks Angkatan Laut, Pangkalan Jati, Jakarta Selatan," katanya.

Laksamana Rudolf Kasenda adalah pria kelahiran Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada 15 Mei 1934. Dia menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut dari 1986 hingga 1989.Sementara itu. Brigadir Jenderal Purnawirawan Herman Sarens Sudiro meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, Minggu. Rencananya, jenazah disemayamkan di rumah Hermans di Jalan Daksa, Jakarta Selatan, dan dimakamkan Senin (12/7).
( Sumber : http://bataviase.co.id )


IDHAM CHALID WAFAT, PPP USUL GELAR PAHLAWAN

Ketua DPR/MPR periode 1972-1977, Doktor Kiai Hap Idham Chalid meninggal dutna di kediamannya di Pesantren Daarul Maarif, Opele, Jakarta Selatan, Minggu (11/7) pukul 08.00 WIB Wafatnya Idham Khalid merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia lantaran almarhum telah memberi warna bagi perjalanan bangsa melalui kiprahnya baik semasa Orde Lama maupun Ode Baru.

Tak heran jika PPP spontan menyarankan agar pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada KH Idham Cholid. Gelar pahlawan itu layak buat Beliau karena jasa-jasa yang luar biasa yang diberikan almarhum buat negara dan bangsa im," cetus M Romahurmuzy, Wakil Sekretaris Jenderal PPP di Jakarta sebagaimana dilansir Kompas.com.

Tak hanya itu. Partai Persatuan Pembangunan juga mengusulkan hari berkabung nasional selama tiga han atas meninggal mantan Ketua Umum PBNU tersebut. Mengingat jasa-jasa Pak KH Idham Chalid, PPP menyerukan han berkabung nasional dengan pengibaran bendera setengah tiang selama tiga han berturut-turut sejak lian ini,1 kata Romahurmuzy sambil menekankan, Pimpinan PPP juga membenkan instruksi kepada keluarga besar PPP untuk menggelar doa dan tahlil atas meninggalnya KH Idham Cholid selama sepekan berturut-turut di kantor sekretanatnya masing-masing.

Sementara Saiful Hadi, salah seorang putra almarhum, mengemukakan, "Ayah meninggal dunia pukul 08.00 WIB di Cipete dan pemakamannya pada Senin (12/7) di Pesantren Darul Quran, Cisarua, Bogor Menurut Saiful, Idham Chalid meninggal dunia setelah selama sembilan tahun berjuang melawan penyakit stroke. Sejak sembilan tahun alam, Idham terkena serangan jantung yang dahsyat pada 1999. "Ketikaserangan jantung terjadi, Bapak terkena lumpuh total dan tak bsa bicara, papar Saiful.Ditambahkan, selam tak bisa berbicara, untuk makan pun sang ayah harus dibantu dengan selang yang dimasukkan ke saluran pencemaannya di perut (sounde). Makanan pun harus dihaluskan dan disanng sebelum masuk ke selang tersebut, ujarnya.

Pimpinan Pondok Pesantren Ai-Fatah Ciomas, Kabupaten Bogor, KH Saeful Miiiah Hasbi, mengatakan, pengabdian terbesar dibenkan Idham kepada bangsa mi melalui kiprahnya di NU. Wham tercatat menakhodai ormas Islam terbesar di Indonesia itu selama 28 tahun mulai 1956 hingga 1984.Semasa muda Idham ikut berjuang mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi, yang diduduki selama 350 tahun. Begitu pun saat terjadinya pens-tiwa revolus fisik yaitu transisi dan era penjajahan ke kemerdekaan. Idham juga berada di pusat pusaran peristiwa saat penumpasan pemberontakan PW tahun 1965-1966. ( Sumber : http://bataviase.co.id )

FORMER NU CHAIRMAN, HOUSE SPEAKER IDHAM CHALID DIES AT 87
Erwida Maulia

Idham Chalid, a renowned cleric .who chaired Nahdlatul Ulama (NU) for 28 years and a savvy politician who built a stellar career during the Sukarno and Soeharto eras, died in Jakarta on Sunday. He was 87.

A former speaker of both the House of Representatives and the Peoples Consultative Assembly, Idham was a charismatic figure within the NU. His body islying in state in his residence in Cipete, South Jakarta.As some of his family members reside in his hometown in South Kalimantan, Idhams burial is scheduled for Monday at the Darul Quran Islamic boarding school, which is run by his family, in Cisarua, West Java.

Idhams health had deteriorated drastically since he suffered a heart attack and stroke in 1999. He spent most of the past 10 years bedridden."Father died at 8 im. this morning. We ask for your prayers so Allah accepts all of his good deeds," Idhams son Saiful Hadi, the editor-in-chief of national news agency Antara, said Sunday."We also ask you to forgive him his transgressions," he added.

Condolences have come from a number of prominent figures, including President Susilo Bambang Yudhoyono, who called him "a national, public figure who made significant contributions to the development of the nation and the state"."The President expresses his deepest condolences," presidential spokesman Julian Aldrin Pasha said.Muslim preacher Zainuddin MZ said Idham was "a moderate cleric who preserved his dignity in his political activities".

Religious Affairs Minister Suryadharma Ali, who also chairs the United Development Party (PPP), instructed the headquarters and all regional branches of the PPP to lower the Indonesian and party flags to half mast for three days out of respect to Idham, the founder of the PPP."He was an exemplary figure not only to PPP members, but also to the entire nation," Suryadharma said.Idham was born in Setui, South Kalimantan, on Aug. 27, 1922. His foray into politics came after he joined NU, which took part in the 1955 legislative elections.

At the age of 34, Idham became the youngest chairman of NU andretained the post for 28 years until 1984, making him the organizations longest-serving chairman.He was replaced by the grandson of NU founder Hasyim Asyarie, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, who removed NU from the countrys political stage.Gus Durs move created conflict between him and Idham, who founded PPP in 1973.

Idhams bureaucratic career began in the mid-1950s, when he served as deputy to then Indonesian prime minister Ali Sas-troadmidjojo.He also served as coordinating public welfare minister under then president Soeharto, and as speaker of the House and the Assembly between 1968 and 1977.After leaving politics. Idham focused on education, by establishing and developing the Daarul Maarif Islamic boarding school in Jakarta and Darul Quran Islamic boarding school in Bogor.
( Sumber : http://bataviase.co.id )

PAHLAWAN NASIONAL UNTUK DR KH IDHAM CHALID

Menteri Sosial Salim Segaf Al J ufri mengemukakan bahwa pihaknya menunggu usulan resmi bagi gelar pahlawan nasional untuk Dr KH Idham Chalid supaya segera diproses. "Kita semua merasa kehilangan. Karena itu usulan gelar pahlawan nasional harus disampaikan secara resmi dari Pemda tempat kelahiran agar nanti dibahas Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan." katanya seperti disampaikan Tenaga Ahli Bidang Hubungan Media dan Tata Kelola Pemerintahan Drs Sapto Waluyo MSc. Ia mengatakan, pihaknya mewarisi kearifan dan konsistensi tokoh sehingga perlu diteliti sejarah hidupnya secara rinci dan dinilai jasanya bagi kehidupan seluruh bangsa, bukan hanya bagi suatu kelompok/organisasi.

Mensos menyatakan turut berbelasungkawa atas wafatnya KH Idhan Chalid. "Almarhum salah satu putra terbaik bangsa, bukan hanya pernah menjadi Kelua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan pendiri PPP, tapi juga Jadi Ketua DPR/MPR." katanya seperti diberitakan Antara.

"Beliau sebenarnya telah mendapatkan bintang Mahaputra, sehingga berhak dimakamkan Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, tapi keluarga meminta dimakamkan di Ponpes Darul Quran di Cisarua. Kabupaten Bogor." kata Mensos yang direncanakan sebagai inspektur upacara saat pemberangkatan jenazah di rumah duka pada Senin (12/7) pagi. Menurut Mensos. KH Idham Chalid adalah contoh figur politisi yang dekat dunia pendidikan dan keagamaan.

Sementara itu, usulan bagi gelar pahlawan untuk Idham Chalid disuarakan dari Bogor. Jawa Barat, tempat di mana almarhum ternyata semasa hidup pernah tinggal lama di Kola Bogor, tepatnya di Ciwaringin. Bogor Tengah. Kota Bogor selama bertahun-tahun.

Tokoh masyarakat Bogor Hasanuddin mengatakan. Idham Chalid yang merupakan seorang pemimpin besar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia dinilai layak dianugerahi tanda jasa sebagai pahlawan nasional karena sepanjang hidupnya ia telah memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.

Kiai Idham telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa ini. Kami berharap pemerintah memberikan apresiasi pada putra bangsa yang telah banyak berjuang untuk kepentingan nasional." kala Hasanuddin, tokoh masyarakat Bubulak. Bogor.

Ditegaskannya bahwa tanpa keterlibatan Kiai Idham di kancah pergerakan nasional. Indonesia kemungkinan kini telah berubah menjadi negara dengan faham komunisme. Tahun 1965-1966. saat Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan merencanakan pendirian negara komunis. Kiai Idham berdiri paling depan sebagai ujung tombak sipil dalam melakukan penumpasan gerakan makar PKI. "Saya berharap pemerintah menghargai jasa para pahla-wannya. Kiai Idham merupakan salah satu pahlawan yang pernah dimiliki Indonesia dan sudah sewajarnya beliau dianugerahi pahlawan nasional." tegasnya.(djo)
( Sumber : http://bataviase.co.id )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar