Petugas Haji Kloter 1 Embarkasi Banjarmasin 2010

Ketua Kloter (TPHI) : Drs.H.Munadi Sutera Ali, M.M.Pd. Pembimbing Ibadah : H.Sarmadi Mawardi,Lc.,S.Pd.I Dokter (TKHI) : dr.Hj.Nor Salehah Paramedis (TKHI) : H. Irpani,S.Kep Paramedis (TKHI) : H.Gunawan,S.ST. TPHD : Drs.H.Gazali Rahman,M.Si

Senin, 18 April 2011

TOKOH KHARISMATIK NU

KH IDHAM KHALID, TOKOH KHARISMATIK NU
MediaHaji.com, Jakarta - Almarhum KH Idham Chalid tercatat sebagai tokoh yang paling lama memimpin Nahdlatul Ulama (NU). Dalam usia 34 tahun, Kiai Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Kiai Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis.
KH Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Beliau wafat pukul 8, Ahad 11 Juli 2010. Saat usianya baru enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Kiai Idham juga tercatat sebagai "Bapak" pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktunya dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.
Menurut buku "Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid" yang disunting oleh Arief Mudatsir Mandan, beliau hanyalah putra kampung yang merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak kepemimpinan nasional yang disegani.
Kalangan pengamat politik Indonesia, banyak mencatat bahwa Idham Chalid merupakan salah seorang dari sedikit politisi Indonesia yang mampu bertahan pada segala cuaca. Ia pernah menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan, dan dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk Partai NU.
Ia pernah pula menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali-Roem-Idham, dalam usia yang masih sangat belia, 34 tahun. Sejak itu Idham Chalid terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan. Di organisasinya, ia dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin NU di tengah cuaca politik yang sulit, dengan memberinya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU selama 28 tahun (1956 - 1984).
Di samping berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia juga dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956 - 1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan.
Bahkan, Presiden Soeharto memberinya kepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 - 1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970 - 1971) dan setelah itu Ketua MPR/DPR RI (1971 - 1977) dan Ketua DPA (1977 -1983).
Ketika partai-partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, pada tanggal 5 Januari 1973, mantan guru agama Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini menjadi ketua, sekaligus Presiden PPP.
Dari sisi wawasan keilmuwan dbeliau dikenal sebagai ulama yang mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang. Ia juga menyandang gelar doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Idham Chalid merupakan khazanah yang tak ternilai bagi bangsa ini, khususnya PPP dan NU. (Farid/NUOnline)

( Sumber : http://www.mediahaji.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar