Petugas Haji Kloter 1 Embarkasi Banjarmasin 2010

Ketua Kloter (TPHI) : Drs.H.Munadi Sutera Ali, M.M.Pd. Pembimbing Ibadah : H.Sarmadi Mawardi,Lc.,S.Pd.I Dokter (TKHI) : dr.Hj.Nor Salehah Paramedis (TKHI) : H. Irpani,S.Kep Paramedis (TKHI) : H.Gunawan,S.ST. TPHD : Drs.H.Gazali Rahman,M.Si

Senin, 18 April 2011

Mengenang DR KH IDHAM CHALID

TOKOH YANG DIBUTUHKAN NEGARA
Oleh : Drs.H.Munadi, M.M.Pd.
Di masa kekuasaan Presiden Soekarno, khususnya pada masa Nasakom 1959-1965, partai-partai unsur Nasakom mendapat tempat dalam kabinet. Ada menteri-menteri dari PKI dan yang se-aspirasi, seperti Nyoto, Jusuf Muda Dalam, Oei Tjoe Tat dan Soebandrio. Ada menteri-menteri dari partai-partai atau kelompok unsur Agama, seperti KH Idham Chalid, Wahib Wahab, A. Sjaichu, Leimena, Frans Seda, Tambunan. Ada pula menteri-menteri unsur Nasionalis, seperti Ali Sastroamidjojo, Chairul Saleh, Supeni, serta dari kalangan militer, yang jelas disini KH. Idham Chalid dipakai tenaga dan pikirannya dimasa soekarno.
Pada masa Presiden Soeharto, hampir tak ada pejabat pemerintahan apalagi tokoh militer atau purnawirawan, berada di tubuh dua partai –PPP dan PDI– di luar Golkar, Seluruh pegawai negeri harus menjadi anggota Korpri yang kiblat politiknya adalah Golkar.
Disamping itu hanya ada 1-2 menteri yang 1-2 kali berasal dari partai yang diangkat Presiden Soeharto, diantara yang sedikit itu adalah KH Idham Khalid.dan Sunawar Sukawati, dan jelas pemilihan kedua tokoh ini atas pertimbangan bahwa mereka sangat dibutuhkan negara dan bangsa.
Sebagai seorang menteri siapapun orangnya jelas peran dan jasanya sangat menentukan bagi perjalanan negara ini, khususnya di bidang tugas kenegaraan dan kebangsaan pada kementerian itu, apalagi manakala menjadi menteri di masa yang sangat panjang di dua Presiden yang berbeda, maka peran dan jasanya pada negara ini sangat banyak, dan itu terjadi pada tokoh KH. Idham Chalid.


BINTANG JASA IDHAM CHALID, K.H., Dr.
(Daftar Warganegara Republik Indonesia Yang Menerima Anugerah
Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Tahun 1959 S/D 2007)

a. Bintang Mahaputera Utama; Tanpa Surat Keputusan Presiden,
disematkan tanggal 15-2-1961.
b. Bintang Republik Indonesia Adipradana; Ketua DPR/MPR;
Keppres No.012/TK/TH.1973; Tanggal 10-3-1973.


Kependudukan Untuk Kesejahteraan Bangsa
Oleh : Drs.H.Munadi, M.M.Pd.

Pemerintah secara serius ingin mengambil langkah kependudukan dengan mengintensifkan program Keluarga Berencana. Kesungguhan pemerintah tersebut ditandai ikut sertanya Pemerintah Indonesia menanda tangani Declaration on Population yang dilakukan oleh Bapak Soeharto pada tanggal 10 Desember 1966, bersama 29 negara anggauta PBB yang lain.
Langkah strategis dalam percepatan upaya mewujudkan keluargakeluarga Indonesia sejahtera adalah mulai dimasukannya Program Keluarga Berencana menjadi bahagian integral Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969.
Tindak lanjut amanat kepresidenan ini sangat konkrit. Pada tingkat persiapan, hal ini ditandai dengan dibentuknya sebuah kepanitian, kendatipun bersifat ad hoc. Dikordinasikan oleh Menteri Kesejahteraan Rakyat, yang ketika itu dijabat oleh K.H. Idham Chalid, tugas utama penitia kecil ini adalah melakukan studi kelayakan (feasi-bility study] tentang kemungkman keluarga berencana dijadikan pro¬gram nasional.
Pada tingkat perundang-undangan, amanat itu ditindak-lanjuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 26/1968. Inpres ter¬sebut menugaskan Menteri Kesejahteraan Rakyat untuk (1) menghimpun kemginan masyarakat dalam hubungan dengan per¬soalan keluarga berencana; dan (2) mengusahakan berdirinya sebuah lembaga yang secara nasional mengorganisasikan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keluarga berencana.
Pada tingkat kelembagaan, pidato Presiden itu menjadi dasar pembentukan sebuah lembaga nasional yang secara khusus menangani masalah keluarga berencana. Demikian, pada 11 Oktober 1968, Menteri Kesejahteraan Rakyat, melalui SK No. 35/1968, membentuk tim kecil yang bertugas menyiapkan berdirinya lembaga tersebut. Melalui pembicaraan-pembicaraan intensif dengan berbagai pihak terkait, baik dari unsur birokrasi maupun masyarakat, dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) pada 17 Oktober 1968.
Setahun kemudian tepatnya tanggal 22 Januari 1970 keluarlah Keputusan Presiden No.8 tahun 1970 yang mempermaklumkan berdirinya Badan Koordinasi Keluarga tBerencana Nasional (BKKBN).
Proses sosialisasi program keluarga berencana sejak awal telah melibatkan para pemuka agama. Karena mayoritaspenduduk Indonesia adalah beragama Islam, maka otomatis proses itu juga melibatkan individu atau tokoh yang beragama Islam. Bahkan, sebagian besar perintis gerakan KB sendiri adalah orang-orang yang beragama Islam. Dan pada awal tahun I970-an adalah Dr. K. H. Idham Chalid, tokoh NU yang ketika itu adalah Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat, dan K. H. SM Nazaruddin Latief yang men¬jadi pendukung utama program keluarga berencana (BKKBN, 1993:45-46).
Kependudukan erat kaitannya dengan kesejahteraan hidup bangsa, Sang Negarawan sejati jelas akan mengedepankan kesejahteraan bangsa dan kemakmuran negaranya, karenanya kita lihat betapa seriusnya KH Idham Chalid untuk mengatasi masalah kependudukan ini untuk kesejahteraan bangsa ke depan, sehingga beliau melibatkan organisasi NU dan pemuka agama untuk mendukung kegiatan ini.
(Sumber Utama Tulisan : Sejarah Demandiri dan Buku 25 Tahun Gerakan Keluarga Berencana, Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 1995)

TOKOH PENDUKUNG KEHIDUPAN DAMAI BANGSA
Oleh : Drs.H.Munadi, M.M.Pd.

Sebagai tokoh Agama walau saat itu menjabat MENKO KESRA KH Idham Chalid menghendaki kita semua menapaki sejarah dalam mengembangkan agama di negeri ini, yakni menyebarkan agama dengan damai, bukan paksaan dan bukan kekerasan, seperti yang diungkapkan, seperti yang diungkapkan Mujiburrahman (Dosen IAIN Antasari Banjarmasin, Disertasinya ; FEELING THREATENED MUSLIM-CHRISTIAN RELATIONS IN INDONESIA’S NEW ORDER) dengan menulis kutipan makalah KH Idham chalid pada suatu seminar di bandung, sbb. : “Idham Chalid, a Muslim traditionalist leader and the Minister of Social Welfare said, “Actually if we study a bit deeper, we shall find that in this Indonesian soil it is not appropri¬ate to have religiously motivated conflicts because the coming of religions to Indonesia was historically quite unique that is called in scientific term a ‘peaceful penetration.”
KH Idham Chalid mengajarkan kita semua pada bangsa ini, sebagai bangsa yang ber Tuhan, sebagai bangsa yang beragama tentu kita merasa bahwa agama yang kita anut dan yakini adalah yang paling benar, maka alangkah arifnya kalau kita dalam menyebarkan agama anutan kita masing-masing, melakukannya dengan damai, bukan paksaan dan bukan kekerasan, sehingga kesatuan bangsa ini tetap utuh di dalam bingkai kehidupan beragama. Sayang sang guru telah tiada, setelah lama sakit menderanya, namun banyak kudengar dari orang-orang dekatnya, tak pernah sedikitpun rintih keluar dari mulutnya, semoga keistiqamahan dan kesabarannya mendapatkan ganjaran penuh dari Sang Khaliq yang dicintainya. Semoga apa yang beliau ajarankan untuk kita menjaga dan mengedepankan kepentingan bangsa, menjadi bahan pijakan kia semua ...

GURU DEMOKRASI DAN PERSATUAN
Oleh : Drs.H.Munadi, M.M.Pd.
Manakala kita melihat catatan sejarah perpolitikan di negeri ini, pelaksanaan pemilihan umum 1971 yang berakhir dengan kemenangan Golkar telah menunjukkan betapa besar kekuatan politik Golkar dibandingkan partai-partai politik yang sudah lama berdiri, maka diadakan penataan ulang tatanan kehidupan perpolitikan bangsa ini.
Pasca pemilu kehidupan politik di Indonesia mulai diadakan perubahan oleh pemerintah, dimulai dengan mengatur infrastruktur politik yang berhubungan dengan kepartaian, keormasan dan kekaryaan, dengan strategi utama berupa penyederhanaan partai yakni dalam Pemilu tahun 1977 hanya akan ada tiga bendera yaitu dua partai politik dan satu golongan karya, dengan alasan untuk melakukan penyederhanaan partai politik adalah dalam rangka mewujudkan stabilitas politik agar pembangunan dapat berjalan lancar.
Sejarah kepartaian Indonesia mulai dipikirkan perombakannya pada tahun 1950 an ketika kehidupan politik dan kepartaian dirasa mengalami kekacauan ketika partai-partai politik saling mementingkan kepentingan sendiri/ golongan dan kepentingan nasional diabaikan. Fusi partai politik tidaklah berarti matinya partai politik. Sebaliknya, justru merupakan pertumbuhan baru partai-partai politik ke arah yang lebih sehat dan kuat serta menimbulkan kepercayaan pada diri sendiri, bahwa demokrasi yang sedang ditumbuhkan telah ditemukan makna rasa tanggung jawab pada kepentingan bersama dan pembangunan. Keinginan rakyat adalah pembangunan di segala bidang termasuk pembangunan dari pembaharuan kehidupan politik. Dalam rangka pembangunan jumlah partai-partai politik yang banyak, semua partai politik harus berpijak pada ideologi nasional Pancasila. Semua partai politik sebagai penegak-penegak demokrasi ingin mencapai tujuan-tujuan politiknya dengan cara damai dan demokrasi. Oleh karena itu perbedaan yang memang ada tinggal soal titik berat perhatian pada salah satu segi pembangunan dan penentuan cara tepat untuk pencapaiannya. (Kompas, 27 Februari 1973).
Adanya fusi partai tidak mempersempit gerak partai melainkan lebih menegakkan partai-partai politik sebagai sendi utama demokrasi. Kehidupan partai memang pernah mengalami kepudaran, namun sekarang diperlukan kembali sense of confidence (keyakinan rakyat terhadap partai). Untuk mencapai hal tersebut partai-partai harus mengubah mental, cara berpikir dan bekerjanya, dengan mengubah diri dari kuantitatif menjadi kualitatif, agitasi menjadi adaptasi. (Kompas, 22 Februari 1973 ). Kehidupan kepartaian yang paling ideal terdiri dari dua kelompok dan Golkar, karena di lihat dari segi permainan politik ada partner yang bisa memainkan demokrasi. Apabila hanya ada satu partai dan Golkar, demokrasi tidak akan hidup. Sedangkan jika hanya ada satu kelompok saja (partai / Golkar) akan membahayakan demokrasi Indonesia. (Kedaulatan Rakyat, 4 Januari 1973).
Garis besar proses penyederhanaan partai berlangsung dalam tiga tahap yaitu : (a). Tumbuhnya fraksi ABRI, fraksi Golkar, Fraksi Material-spiritual dan fraksi Spiritual-material, (b). Pengelompokan partai-partai yang bersifat federatif, c. Fusi partai-partai dalam dua partai. (lihat Ali Moertopo, 1974).
Tahap pertama dalam proses penyederhanaan partai politik dilakukan dengan kerjasama yang baik antara ke empat fraksi yang mensosialisasikan topik atau gagasan yang sama tentang penyederhanaan partai. Tahap pengelompokan partai dilakukan dengan cara mengelompokkan sembilan partai politik menjadi dua kelompok yaitu : a.) Golongan nasionalis yang terdiri dari PNI, Murba, IPKI, Parkindo, Partai Katolik. Golongan nasionalis kemudian diberi nama Kelompok Demokrasi Pembangunan, b.) Golongan spiritual terdiri dari NU, Parmusi, PSII, Perti. Golongan spiritual kemudian diberi nama Kelompok Persatuan Pembangunan. (lihat Arif Yulianto, 2002).
Fusi partai politik pun terlaksana juga. Meskipun bagi kalangan partai politik, restrukturisasi politik dengan cara fusi dianggap melemahkan posisi partai, karena dengan menghimpun partai yang berbeda ke dalam satu wadah akan timbul perpecahan didalam partai baru. (lihat Liddle, 1992). Namun demikian, dorongan fusi justru disambut baik oleh kalangan Islam karena dianggap baik dalam menyatukan barisan. Semangat ini tercermin dari awal pergantian nama Kelompok Persatuan Pembangunan menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Pergantian ini disambut baik oleh umat partai Islam, karena hakekat persatuan meningkatkan khidmat umat Islam sendiri. Apa yang dipersatukan hanya gerak dan langkah partai serta pelayanan keluar dari partai Islam yang ada di Indonesia. (Kompas, 4 Januari 1973).
Fusi partai pertama kali dilakukan oleh keempat partai Islam yaitu : NU, Parmusi, PSII dan Perti dengan nama Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973. Masing-masing partai politik yang sudah berfusi akan tetap melakukan kegiatan non politiknya, bahkan meningkatkan kegiatannya sebagai sumbangan, dakwah dan pendidikan. (Suara Merdeka, 8 Januari 1973).
Untuk realisasi kesepakatan tersebut dibentuk suatu tim untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan oleh PPP baik organisatoris/ politik. Mukaddimah ditandatangani oleh KH. Idham Chalid (NU), H.M.S. Mintaredja (Parmusi), Rusli Halil (Perti), H.M. Ch. Ibrahim dan H. Anwar Tjokroaminoto (PSII). (Abadi, 8 Januari 1983).
Dalam Mukaddimah tersebut ditulis antara lain : “Bahwa perjuangan partai politik tidak bisa dipisahkan dari perjuangan seluruh bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Bahwa kemerdekaan yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 adalah jembatan emas menuju masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Dalam rangka pembangunan fisik dan demokrasi itu, peranan partai-partai politik itu dengan niat beribadah kepada Allah SWT melalui Pernyataan Penggabungan tanggal 5 Januari 1973 dan Piagam Pembentukan tanggal 13 Februari 1973 maka ke empat partai politik tersebut menggabungkan kegiatan politiknya ke dalam wadah PPP yang berazaskan Pancasila , UUD 1945 dan berdasarkan Islam”.
Demi bangsa para politisi handal tersebut mau tanda tangan memfusi partai yang dipimpinnya, demi demokrasi di negara ini mereka bersama, demi perjuangan mencapai redha Allah mereka satukan berbagai perbedaan, akan hati kita sebening hati mereka, akankah para praktisi politik di negara ini mau berguru pada mereka, kini salah seorang sang guru itu DR KH IDHAM CHALID kembali berpulang keharibaan Sang Pemilik keredhaan yang diharapkan, ... semoga Allah SWT meredhai semua perjuanganmu.



Sebuah Contoh Sikap hidup Sang Kiyai
Oleh : Drs.H.Munadi, M.M.Pd.
Sikap moderat dan fleksibel adalah sebuah contoh yang baik dari KH Idham Chalid; tokoh yang meninggalkan kita semua untuk kembali kehadapan Allah SWT pada hari minggu tanggal 11 Juli 2010 lalu, sebuah permata sikap dalam kehidupan seorang negarawan yang perlu direnungkan bagi semua pemimpin bangsa ini, apatah lagi beliau meninggalkan kita semua bertepatan dengan maraknya percaturan politik di Indonesia, termasuk politik Islam. Maka adalah sewajarnya semua petinggi bangsa, pemimpin agama dan bahkan semua anak bangsa perlu belajar dari sikap moderat dan fleksibelnya sang kiyai, yang lama menjadi pelaku sejarah bangsa ini, namun hampir luput dari rekaman sejarawan yang menulis sejarah bangsa ini.
Dengan sikap moderat dan fleksibel, Sang Kiyai mampu bertahan memimpin NU selama 28 tahun (memimpin NU dari tahun 1955 sampai 1984), dan membawa organisasi massa Islam terbesar di Negara ini untuk melihat jauh ke depan, dimana Pak Idham Chalid banyak mewariskan sikap akomodatif terhadap kebijakan pemerintah pada organisasi NU, sehingga beliau dan NU diterima di Zamannya kepemimpinan bangsa ini di tangan Ir. Soekarno dan di Zaman kepemimpinan Jenderal Soeharto dan kalaulah NU tampak akomodatif dengan berbagai kebijakan pemerintah ini adalah warisan dan tempaan Sang Kiyai pada warga NU.
Pada kurun 1957-1960, terjadi gejolak politik yang luar biasa karena Presiden Soekarno secara tiba-tiba mengubah sistem demokrasi parlementer menjadi sistem demokrasi terpimpin yang cenderung otoriter, namun KH Idham Chalid dan KH Wahab Chasbullah mau menerima untuk menyebarkan amar ma\'ruf nahi munkar dan mencegah ekspansi PKI yang suka berlindung di bawah kekuasaan Prresiden Soekarno, sebab sikap akomodatif lebih baik daripada sikap melawan, sebab melawan lebih berbahaya karena Bung Karno didukung oleh TNI Angkatan Darat, kalau melawan tentara berarti menghancurkan ummat, sehingga resiko bisa ditekan seminimal mungkin umat yang besar pun terlindungi dan otomatis bangsa terselamatkan, dan Sang Kiyai dapat mempengaruhi Presiden dalam mengambil keputusan dan NU pun dapat terus meningkatkan kegiatan menandingi kegiatan PKI, sehingga ketika Masyumi dibubarkan, NU sebagai organisasi dengan massa terbesar di negeri ini, tetap mampu bertahan di tengah krisis Demokrasi, dan Soekarno mendengarkan aspirasi ummat Islam melalui NU.
Manakala PKI dengan pemberontakan G30 S nya pada September 1965, maka sikap moderat sang Kiyai dengan warga Nahdhiyyin merasa terinjak-injak dengan maraknya fitnah dan pembantaian, Sang Kiyai, Warga Nahdhiyyin bersatu padu dengan rakyat pun memberikan perlawanan terhadap rejim Orde Lama, sehingga pasca pemberontakan G30S, warga nahdhiyyin bersama rakyat memburu PKI, bukan belas dendam tapi lebih pada penyelamatan bangsa dan negara dari tangan PKI yang punya sejarah panjang sebagai pemberontak di Negeri ini.
Sayang kisah kehidupan kiyai ini tidak banyak ditulis oleh para sejarawan bangsa ini, namun sikap moderat dan fleksibel kiyai, mungkin perlu diapresiasi mulai dari pemimpin bangsa, politisi, pemimpin agama dan bahkan rakyat Indonesia dalam menata kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik dan hormonis ke depan. Kalau lah seseorang mau diterima disemua kalangan, mungkin perlu belajar banyak kehidupan moderat dan fleksibel yang dicontohkan Sang Kiyai. Kalau lah seorang politisi mau menjadi politisi handal yang diakui kawan dan disegani lawan, maka mungkin perlu belajar banyak kehidupan moderat dan fleksibel yang dicontohkan Sang Kiyai. Kalau lah NUi mau menjadi organisasi besar, maka mungkin pemimpin dan warganya perlu belajar banyak kehidupan moderat dan fleksibel yang dicontohkan Sang Kiyai. Kalau lah seorang negarawan mau menjadi negarawan handal yang dihormati rakyatnya, maka mungkin perlu belajar banyak kehidupan moderat dan fleksibel yang dicontohkan Sang Kiyai. Namun sang guru telah kembali kehadrat Allah SWT ... kita berharap mutiara kehidupannya itu tetap berkilau dalam sikap dan kehidupan anak bangsa ini, semoga rahmat dan magfirah Allah senantiasa tercurah untuk beliau, Amien.

UNTAIAN BUNGA UNTUK SANG TOKOH
Oleh : Drs.H.Munadi, M.M.Pd

Rumah KH Idham Chalid Bin Muhammad Chalid mulai dipenuhi pelayat di Jl. RS Fatmawati no 45, yang tergolong asri itu dipenuhi oleh karangan bunga.
Petinggi negara, mulai legislatif, eksekutif dan yudikatif, petinggi organisasi sosial, politik dan keagamaan, ikut andil mengirimkan karangan bunga ke rumah beliau.
Ada karangan bunga dari Pak Presiden, ada dari karangan bunga berasal dari Bu Herawati Boediono, AM Fatwa, dari Lukman Hakim Saifudin, ada dari Keluarga Besar KPU, dan lain sebagainya, banyak sekali .... Mereka ikut merasa sedih ... menyampaikan belasu ngkawa terhadap kepergian sang tokoh “Idham Chalid”, seorang Ulama yang kharismatik, politikus ulung, negarawan yang handal.
Pelaku sejarah panjang bangsa yang tercinta ini, yang lahir di Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921 lalu, yang pernah tercatat sebagai politikus dan juga aktivis keagamaan di PBNU bahkan menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terlama dalam catatan sejarah, yakni selama 28 tahun dari tahun 1956 sampai 1984, sejarah mencatat hampir separuh hidupnya mengurusi negara, mulai menjadi anggota legislatif sebagai anggota DPR RIS pada 1949-1950, sampai menjadi ketua MPR/DPR pada periode 1971-1977. Dalam bidang eksekutif pun beliau banyak berperan untuk pembangunan bangsa dan negara ini, beliau tercatat sebagai Menteri beberapa kali, bahkan pada tahun 1966, beliau merupakan anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II, yang diamanahi oleh Presiden selaku Panglima Tinggi Angkatan Bersenjata.
Ada yang mengenang karena jasanya, ada yang mengenang karena kharismanya, ada yang mengenangnya sebagai guru, ada yang mengenangnya sebagai teman dan sahabat, ada yang mengenangnya sebagai panutan, ada yang mengenangnya sebagai negarawan, ada yang mengenangnya sebagai ayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar