Petugas Haji Kloter 1 Embarkasi Banjarmasin 2010

Ketua Kloter (TPHI) : Drs.H.Munadi Sutera Ali, M.M.Pd. Pembimbing Ibadah : H.Sarmadi Mawardi,Lc.,S.Pd.I Dokter (TKHI) : dr.Hj.Nor Salehah Paramedis (TKHI) : H. Irpani,S.Kep Paramedis (TKHI) : H.Gunawan,S.ST. TPHD : Drs.H.Gazali Rahman,M.Si

Senin, 18 April 2011

ULAMA DARI KALIMANTAN

IDHAM CHALID

Nama :
IDHAM CHALID

Lahir :
Setui, Kalimantan Selatan, 5 Januari 1921

Agama :
Islam

Pendidikan :
- Madrasah Mualimin Tinggi, Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, (1942)
- Universitas Al Azhar, Kairo (Doktor HC, 1959)


Karir :
- Guru Madrasah Pondok Pesantren Gontor (1940)
- Direktur Normal School Islam, Amuntai (1945)
- Anggota Dewan Daerah Banjar (1947)
- Anggota DPR RIS (1949-1950)
- Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Nahdatul Ulama (NU) 1952-1956
- Anggota DPRGR (1955)
- Wakil Perdana Menteri II (1956-1957 dan 1966)
- Ketua Umum PB Nahdatul Ulama (1956-1984)
- Menteri Kesra (1967-1970)
- Menteri Sosial Ad Interim (1970-1971)
- Ketua DPR/MPR (1971-1977)
- Ketua, kemudian Presiden Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
- Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1977-1983)

Alamat Kantor :
Jalan Ki S. Mangunsarkoro 51, Jakarta Pusat
Idham Chalid terbilang salah seorang dari sedikit politisi Indonesia yang mampu bertahan pada ''segala cuaca''. Bekas Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan, ini dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk Partai NU. Dan hasilnya ia menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet AliwRoemwIdham. Sejak itu, Idham terus-menerus berada dalam lingkaran kekuasaan.
Terbukti, sambil berada di puncak pimpinan NU, ia menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956-1957. Saat Orde Lama jatuh, 1966, Idham yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan. Ia menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat, dan setelah itu Ketua MPR/DPR dan Ketua DPA. Ketika partai-partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, bekas guru agama Pondok Pesantren Modern Gontor ini menjadi ketuanya yang pertama.
Maka, tidak ayal, ada yang menilainya sebagai tokoh yang suka mengikuti arus. ''Itu penilaian orang, terserah saja. Saya 'kan tidak hanyut,'' ujar Idham.Dalam usia yang kian senja (65 tahun pada 1986), tidak hanya penyakit yang datang. Mei 1982, ketika sakit lehernya kambuh, serombongan tokoh NU memintanya menyerahkan kepemimpinan organisasi itu kepada K.H. Ali Ma'sum. ''Karena kesehatan Pak Idham,'' kata mereka mengemukakan alasan. Mulanya Idham setuju, kemudian ketika mendapat desakan dari 17 Wilayah NU, ia mencabut kembali pernyatan pengunduran dirinya.
Dari sinilah mulanya timbul istilah Kelompok Cipete -- kubu Idham Chalid -- dan Kelompok Situbondo. Perbedaan pendapat yang sebenarnya berpangkal pada rasa tidak puas sejumlah tokoh NU terhadap daftar calon Pemilu 1982 susunan DPP PPP itu berakhir pada kesempatan tahlilan memperingati meninggalnya para pendiri NU (K.H. Wachid Hasyim, K.H. Wahab Abdullah, dan K.H. Bisrie Syansuri) di Surabaya, September 1984.
Ulama ini mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang. Untuk bahasa Jerman dan Prancis, ia menguasainya secara pasif. Idham adalah penyandang gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar, Kairo.
Setelah tidak memimpin lagi baik NU maupun PPP, Idham kini lebih banyak berada di Cipete, tempat ia memimpin pesantren yang tidak begitu besar. Untuk memperingati hari-hari besar Islam, ia lebih suka memakai sebuah rumah di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat, yang selalu disertai dengan pengajian besar-besaran. Akhir-akhir ini, untuk mengobati sakit lehernya itu, Idham acap mondar-mandir ke Singapura dan Jepang.
( Sumber : http://www.pdat.co.id )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar