Petugas Haji Kloter 1 Embarkasi Banjarmasin 2010

Ketua Kloter (TPHI) : Drs.H.Munadi Sutera Ali, M.M.Pd. Pembimbing Ibadah : H.Sarmadi Mawardi,Lc.,S.Pd.I Dokter (TKHI) : dr.Hj.Nor Salehah Paramedis (TKHI) : H. Irpani,S.Kep Paramedis (TKHI) : H.Gunawan,S.ST. TPHD : Drs.H.Gazali Rahman,M.Si

Senin, 18 April 2011

Sang Kiyai Menurut Mereka

KH. IDHAM CHALID BERPULANG
Jakarta, WH Online – Umat Muslim Indonesia berduka kembali. Salah satu Putra Bangsa Indonesia yang merasakan 3 zaman di Indonesia, yaitu KH. Idham Chalid telah berpulang ke rahmatullah. Beliau adalah ulama besar dan tokoh politisi panutan, begitulah pengakuan pribadi Mantan Wakil Presiden Hamzah Haz.
KH. Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, dan merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.
Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Idham tercatat sebagai tokoh paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut.
Di halaman rumah duka, juga terlihat dipadati berbagai karangan bunga ucapan bela sungkawa dari para pejabat negara di antaranya dari Presiden Susilo Bambangh Yudhoyono, Wapres Boediono, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang juga Menteri Agama, pimpinan dan frkasi PPP DPR, dan lain-lain.
Sejumlah pejabat, rekan, dan kerabat almarhum KH. Idham Chalid juga telah banyak yang hadir sejak pagi hingga petang, di antaranya Menag Suryadharma Ali, Mendiknas M. Nuh, mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Masykur Musa, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) A. Hafiz Anshary, mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan, Ketua PBNU KH Slamet Effendi Yusuf, dan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin. Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono juga berencana bertakziyah ke rumah duka.
KH. Idham Chalid wafat pada Minggu pukul 08.00 WIB di rumahnya. KH. Idham Chalid meninggal dunia setelah sebelumnya selama sembilan tahun mengalami stroke dan sempat mengalami serangan jantung pada 1999. Anak sulung dari lima bersaudara itu meninggalkan 16 orang anak, 35 cucu, dan tujuh cicit.
Pada masa hidup beliau, KH. Idham Chalid pernah menjabat dua kali sebagai Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Kabinet Karya (1956-1957).

Beliau pernah pula menjabat sebagai Ketua DPR RI (1971), Ketua MPR RI (1972-1978), Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1978-1983), Anggota Tim Penasehat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P7), dan anggota dewan Pertimbangan MUI.
Jenazah akan dimakamkan secara umum pada Senin pukul 09.00 WIB besok. Pada pukul 10.00 WIB, jenazah akan diberangkatkan ke Darul Qur’an Cisarua, Bogor, sesuai pesan beliau pada putra-putrinya untuk dimakamkan di Pesantren Darul Qur’an Cisarua, Bogor. Pemakaman beliau akan dilaksanakan selepas shalat dzuhur yang akan didahului upacara kenegaraan.
(Sumber : http://ppwahidhasyim.com )

RIWAYAT HIDUP KH IDHAM CHALID
Editor: Ignatius Sawabi
JAKARTA, KOMPAS.com — Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, dan merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin. Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya. Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Idham tercatat sebagai tokoh paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut. Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karier yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan. Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun. Selain itu, Idham juga tercatat sebagai "Bapak" pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.

(http://nasional.kompas.com )

WAPRES BOEDIONO MELAYAT ALMARHUM KH IDHAM CHALID

Boediono 2maiwanews – Wakil Presiden (Wapres) RI, Boediono ikut melayat almarhum KH Idham Chalid di rumah duka di Kompleks Perguruan Daarul Maarif, Jl Fatmawati, Cipete, Jaksel, Minggu, 11 Juli 2010.

Usai melayat, Boediono mengatakan, KH Idham adalah sosok ulama yang santun dan membuat tenang. “Beliau adalah politisi dan ulama yang selalu menyejukkan,” ujar Boediono.

Selain Boediono, turut hadir melayat antara lain mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur DKI jakarta Fauzi Bowo, Mendiknas M Nuh, Menag Suryadharma Ali, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshory dan Ketua MUI Amidhan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dijadwalkan juga akan melayat Almarhum Ayah dari 16 anak dan kakek bagi 40 cucu ini besok Senin sebelum pemakaman.

Idham Chalid meninggal pada Minggu pagi dalam usia 88 tahun karena sakit. Ketua PBNU terlama ini (1956 hingga 1984), pernah menduduki berbagai jabatan penting diantaranya sebagai Ketua MPR, Ketua DPA, Ketua DPR, Presiden PPP.

Tercatat juga pada 1966, ia sempat menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan setelah itu ia diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode 1972-1977.

Sebelum meninggal, Idham harus berjuang melawan penyakit stroke. Awalnya, pada tahun 1999, ulama harismatik itu terkena serangan jantung yang berakibat kelumpuhan.

Rencanamya, jenazah salah satu pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, akan dimakamkan di kompleks Pesantren Daarul Quran di Cisarua Bogor, Senin besok, 12 juli 2010.
( Sumber : http://www.maiwanews.com )


IDHAM CHALID DAN IJTIHAD POLITIK ISLAM
Oleh Nurhasan Zaidi

BILA politik adalah the art of possibilities, maka KH Idham Chalid adalah pemeran terbaiknya. Sebagai politisi Islam yang memimpin organisasi massa besar NU hampir tiga dekade (1955-1984), Pak Idham nama panggilai kyai kelahiran Kalimantan Selatan ini benar-benar telah mampu menyelamatkan Islam dari tragedi politik Indonesia di masa krisis.
Pada kurun 1957-1960, terjadi gejolak politik yang luar biasa karena Presiden Soekarno secara tiba-tiba mengubah sistem demokrasi parlementer menjadi sistem demokrasi terpimpin yang cenderung otoriter.
Transisi menuju demokrasi terpimpin ini memunculkan ketegangan serius dalam kepemimpinan NU karena menimbulkan persoalan berkaitan dengan masa depan politik di Indonesia dan tempat NU di dalamnya. Menurut Greg Fealy, ada tiga hal yang menyebabkan transisi menuju demokrasi terpimpin ini memecah belah NU.
Pertama, berakhirnya kekuasaan dari parlemen dan partai yang dipilih secara demokratis ke tangan eksekutif (presiden). Kedua, marginalisasi Masyumi akibat keterlibatannya dalam pemberontakan daerah yang gagal dan penentangannya yang kukuh terhadap reformasi politik Soekarno. Dan Ketiga, meluasnya peran dan pengaruh PKI serta kelompok sayap kiri lainnya dalam pemerintahan.
Melihat kemungkinan munculnya tiga dampak demokrasi terpimpin di atas, kalangan garis keras NU menolak dengan tegas diterapkannya demokrasi terpimpin tersebut. Sedangkan Pak Idham dan kelompoknya mau menerima. Alasannya, memanfaatkan Bung Karno untuk menyebarkan amar ma\'ruf nahi munkar dan mencegah ekspansi PKI yang suka berlindung di bawah kekuasaan Bung karno.
Dua pucuk pimpinan NU, KH Idham Chalid dan KH Wahab Chasbullah adalah termasuk kelompok yang pragmatis. Pendekatan akomodatif kaum pragmatis NU terhadap demokrasi terpimpin terefleksikan dalam pendapat bahwa sikap melawan lebih berbahaya dari pada menerima tanpa protes.
Sikap ini diambil dengan tujuan menerima resiko seminimal mungkin serta mempertahankan pengaruh politik sebagai cara untuk melindungi umat. Alasan kelompok Pak Idham adalah bahwa NU tidak akan bisa melawan Bung Karno yag mendapat dukungan Angkatan Darat.
Bersikap oposan terhadap Bung Karno bukan hanya sebuah kesia-siaan, tapi juga membahayakan NU dan para pengikutnya. Menurut pandangan Idham Chalid, jauh lebih baik bagi NU untuk tetap dalam pemerintahan karena dengan cara itu bisa mempengaruhi Soekarno dan menandingi aktivitas PKI yang makin gencar.
Dalam berbagai perdebatan, akhirnya Pak Idham dan kelompoknya yang menang. Kemenangan tersebut, antara lain, karena lobi dan keluwesan Idham Chalid dalam mempengaruhi ulama-ulama sepuh di NU. KH Achmad Syaichu dan Subchan ZE yang termasuk kelompok garis keras akhirnya harus mengakui kehebatan Idham yang menjadi motor kelompok pragmatis tersebut.
Ketika Bung Karno membubarkan Masyumi, NU menjadi satu-satunya partai Islam yang besar di Indonesia. Secara politik, suara Islam mau tidak mau harus tersalurkan melalui NU. Barangkali inilah sumbangan NU terhadap politik Islam di masa krisis demokrasi pada zaman Orde Lama. Ketika partai-partai berhaluan Islam yang lain dikucilkan -- NU justru berkibar. Bung Karno pun mengapresiasi dan mau mendengar umat Islam melalui NU.
Namun, sejauh mana ketahanan NU menghadapi Bung Karno yang makin otoriter ini? Lagi-lagi, politik adalah the art of possibilities. Ketika melihat posisi Bung Karno makin lemah, NU pun berpaling.
Pemberontakan PKI, September 1965, menjadi pemicu perlawanan NU terhadap rejim Orde Lama. NU bersama-sama masyarakat Islam yang selama ini sering difitnah oleh PKI, pasca pemberontakan G30S, menjadi pemburu PKI. Pembantaian PKI terbanyak terjadi di Jawa Timur, di kawasan yang mayoritas penduduknya NU.
Menariknya, ketika rejim Orde Lama tumbang, Idham Chalid pun mampu mendekati rejim Ode Baru dengan cepat. Dalam pemilu pertama masa Orde Baru, 1971, partai NU pun makin berkibar. Sedangkan partai-partai islam lainnya masih tetap liliput. Melihat keadaan ini, Soeharto minta agar semua partai Islam digabung dalam PPP. Sekali lagi, Idham dan NU pun menyetujuinya. Dan hebatnya, di masa kepemimpinannya, PPP pun dapat meraih suara yang besar. Walhasil, berkat Idham dengan politik senyum dan jalan tengahnya itulah, keterwakilan Islam di parlemen makin signifikan.
Dengan strategi politiknya yang luwes dan cair, Idham dalam kepemimpinannya di NU berhasil membawa organisasi massa Islam terbesar tersebut untuk melihat jauh ke depan. Jika kini massa NU tampak akomodatif dengan berbagai kebijakan pemerintah, maka hal itu merupakan hasil binaan Pak Idham yang panjang.
Massa NU yang besar, yang mewarnai perjalanan Indonesia ke depan, memang perlu bekerjasama dengan pemerintah untuk membangun bangsa Indonesia. Ke depan, moderasi NU yang telah dirintis dan dikembangkan KH Idham Chalid patut mendapat apresiasi.
Di tengah ancaman radikalisme agama dan ideologi yang memunculkan terorisme, maka sikap moderat Islam yang dikembangkan NU tersebut menyelamatkan Indonesia dari gelombang radikalisme seperti di Pakistan dan Afghanistan.
Ahad lalu (11/7), KH Idham Chalid telah meninggalkan kita semua untuk menuju ke haribaan Allah. Di tengah maraknya percaturan politik di Indonesia, termasuk politik Islam, bangsa Indonesia perlu belajar dari sikap moderat dan fleksibel Pak Idham.
Pak Idham telah berijtihad untuk memilih jalan tengah dan moderat yang bisa menguntungkan semua pihak, sambil meminimalkan resiko dari pilihan tersebut. Keputusan NU untuk tidak melawan Bung Karno yang mendeklarasikan demokrasi terpimpin dengan sebuah tujuan agar bisa ber-amar ma\'ruf nahi munkar dari dalam, ternyata berhasil mmperbesar peran Islam dalam mencegah ekspansi PKI yang membonceng kekuasaan Bung Karno.
Begitu pula sikap Pak Idham yang akomodatif terhadap kebijakan Soeharto, menjadikan umat Islam makin menyatu dalam kultur ke-indonesiaan. Selamat jalan Pak Idham.....Allah akan memberikan tempat terbaik untuk hambaNya yang berjuang untuk kemaslahatan umat. (Penulis adalah anggota Komisi VIII DPR RI).
( Sumber : http://www.pelita.or.id )

Belangsungkawa Atas Wafatnya Idham Chalid

Diterbitkan pada 11 Juli 2010 oleh B- Watch

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan belasungkawa atas wafatnya KH. Idham Chalid, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan mantan Ketua DPR/MPR.
“Presiden turut berduka dan mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya,” kata Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha di Jakarta, Minggu.
Julian mengatakan, Kepala Negara memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada almarhum atas jasa-jasa selama masa hidupnya .
Presiden Yudhoyono juga menyatakan, Idham Chalid adalah tokoh nasional yang memberikan sumbangan besar di bidang politik, keagamanaan, dan pendidikan di Indonesia.
“Beliau adalah tokoh bangsa, tokoh masyarakat yang banyak berkontribusi terhadap kemajuan bangsa dan negara,” kata Julian.
Secara terpisah, putra Idham Chalid Saiful Hadi mengemukakan bahwa almarhum menghembuskan napas terakhir Minggu pukul 08.00 WIB di rumah duka di Pesantren Daarul Maarif, Cipete, Jakarta Selatan.
“Ayah meninggal tadi pagi pukul 08.00 WIB. Mohon doanya, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT,” kata Saiful Hadi yang juga Direktur Pemberitaan/Pemimpin Redaksi Perum LKBN ANTARA.
Saiful mengatakan, pihak keluarga sudah bermusyawarah mengenai pemakaman sang ayah.
“Jenazah almarhum dimakamkan di Bogor, tepatnya di Pesantren Darul Quran, Cisarua, Senin,” katanya.
Pesantren Darul Quran merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikelola keluarga K.H. Idham Chalid. Dia juga mengembangkan Pesantren Daarul Maarif yang lokasinya berada di sebelah kediamannya di Cipete Jakarta Selatan.
Idham Chalid dilahirkan pada 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Pemakaman Idham pada Senin karena sebagian putra-putri dan sanak familinya tinggal di Kalsel maupun berbagai daerah lain di Tanah Air.
Semasa hidup, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di panggung politik. Bahkan, sejak usia remaja, Idham sudah bersentuhan dengan politik melalui keterlibatannya di Nahdlatul Ulama (NU) yang saat itu sebagai salah satu partai politik (parpol) terbesar pemenang pemilu.
Panggung politik telah membesarkan nama Idham. Semasa hidup dia pernah diberi sejumlah amanat besar, yaitu sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1956-1984, Ketua DPR/MPR RI 1972-1977, dan sejumlah jabatan lain.
Selain itu, Idham juga tercatat sebagai tokoh pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Setelah tidak lagi terlibat di dunia politik, Idham mengabdi melalui jalur pendidikan dengan mengembangkan Pesantren Daarul Maarif di Cipete Jakarta dan Pesantren Darul Quran di Cisarua Bogor.
Sejak tahun 1999, kesehatan Idham menurun drastis menyusul serangan jantung dan stroke, yang membuatnya terbaring tak berdaya di atas tempat tidur hingga menghembuskan napas terakhir, Minggu.
“Kami mohon almarhum didoakan dan mohon dimaafkan bila semasa hidupnya pernah melakukan kesalahan,” kata Saiful Hadi.

Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan, KH Ahmad Makkie, meninggalnya mantan Ketua PBNU KH Dr Idham Chalid (88), Minggu pagi, membuat warga Kalsel kehilangan seorang tokoh besar.
“Warga Kalsel kehilangan seorang tokoh besar karena sosok almarhum dikenal sebagai seorang ulama maupun tokoh yang membesarkan organisasi besar Islam,” ujar KH Ahmad Makkie ketika dihubungi di Banjarbaru, Minggu.
Ia mengatakan, kehilangan besar yang dirasakan itu karena almarhum merupakan tokoh asli Kalimantan Selatan dan mampu mengharumkan nama daerah seiring kiprahnya sebagai pemimpin organisasi besar Islam dan pemimpin lembaga tinggi negara.
Dikatakan, jasa almarhum sangat besar baik bagi agama maupun bangsa dan negara karena mampu memimpin organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama selama 32 tahun disamping sebagai deklarator sekaligus pemimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Bagi Kalsel, kiprah almarhum di tingkat nasional sangat mengharumkan nama daerah sehingga kita semua warga Kalsel pantas merasa kehilangan besar atas kepergian almarhum,” ujar mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Kalsel itu.
Terkait kiprah almarhum selama kepemimpinannya dalam organisasi NU, ia mengatakan, sangat salut dan hormat karena almarhum bukan orang NU dan memiliki darah biru sebagai garis keturunan langsung warga Nahdliyin.
“Beliau sama sekali bukan warga NU dan tidak memiliki darah biru sebagai garis keturunan langsung NU, tetapi kiprah dan perannya membesarkan organisasi NU sangat besar dan tidak perlu diragukan lagi,” ujar salah satu tokoh Kalsel ini.
Dikatakannya, almarhum juga memiliki jasa besar bagi bangsa dan negara karena kiprah sebagai Ketua MPR/DPR mampu mewarnai perjalanan dan sejarah bangsa disamping pernah ikut berjuang di masa perjuangan kemerdekaan.
Khusus kiprahnya di daerah, Ahmad Makkie, menilai, almarhum juga dikenal sebagai tokoh pendidik di kalangan pesantren dan pernah menjabat sebagai pembina Pondok Pesantren Rasyid Khalidiyah (Rakha) Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Ditambahkan, kesan khusus yang sempat disampaikan almarhum saat menjadi pembina Ponpes Rakha adalah pondok pesantren yang dikatakannya bukan hanya milik kaum Nadhlatul Ulama tetapi milik semua umat Islam.
“Beliau sempat menyampaikan bahwa pondok pesantren bukan hanya milik NU, tetapi siapapun umat Islam bisa menuntut ilmu di ponpes,” ujar Wakil Ketua Yayasan Ponpes Rakha Amuntai itu.
Makna yang diambil dari pernyataan itu, lanjut Ahmad Makkie, adalah pesan bahwa pondok pesantren bukan semata-mata milik warga NU dan hanya kaum NU yang boleh belajar dan menuntut ilmu tetapi seluruh umat Islam boleh belajar dan ikut menuntut ilmu di ponpes.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Andi Mappetahang Fatwa menilai tokoh Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Idham Chalid merupakan sosok pemimpin yang langka.
“Beliau pemimpin yang sangat langka, yang pendekatannya luar biasa sehingga mampu memimpin NU selama 28 tahun,” katanya saat melayat ke rumah melayat ke rumah almarhum di Pesantren Daarul Maarif, Cipete, Jakarta, Selatan.
Dia menilai Bapak Pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu sebagai tokoh yang paling terbuka dalam melayani kebutuhan umat Islam.
“Itu yang sudah langka karena banyak pemimpin yang terlalu birokratis dalam menerima tamu. Padahal setiap tamu itu membawa informasi baik maupun buruk, informasi itu sama-sama membawa manfaat,” ujarnya.
Andi Mappetahang Fatwa–akrab dengan sapaan A.M. Fatwa–mengaku mengagumi gaya berpolitik Idham Chalid yang memegang teguh budaya silaturahmi.
“Beliau tidak pakai teori politik yang muluk-muluk, tapi menggunakan kultur silaturahim, yaitu setiap malam jumat berkeliling untuk bersalaman dengan kiai-kiai,” tuturnya.
Pada kesempatan itu hadir pula beberapa tokoh, antara lain mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Masykur Musa, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) A. Hafiz Anshary, mantan Wakil Presiden Hamzah Has, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan.
Doktor K.H. Idham Chalid wafat pada Minggu pukul 08.00 WIB di rumahnya dan akan dimakamkan Senin (12/7) di Pesantren Quran Cisarua, Bogor.
Idham Chalid meninggal dunia setelah sebelumnya selama sembilan tahun mengalami stroke dan sempat mengalami serangan jantung pada 1999.
Idham Chalid lahir di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1922. Anak Sulung dari lima bersaudara itu meninggalkan 16 orang anak, 35 cucu, dan tujuh cicit.
Pada masa hidupnya, Idham pernah menjabat dua kali sebagai Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Kabinet Karya (1956-1957). Pernah pula menjabat sebagai Ketua DPR RI (1971), Ketua MPR RI (1972-1978), Ketua Dewan Pertimbangan Agung (!978-1983), Anggota Tim Penasehat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P7), dan anggota dewan Pertimbangan MUI.(*)
( Sumber : http://bumnwatch.com )

MENGENANG IDHAM CHALID, ULAMA & POLITISI BERFILOSOFI AIR (1)
Laporan Oleh : novi aji

Peran Ganda

KH Idham Chalid kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, dikenal sebagai ulama dan politikus pelaku filosofi air. Dia seorang tokoh Indonesia yang pernah menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif dan ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama). Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP.

Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya. Demikian pula sebagai politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis.

Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.

Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-polticnya.

Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH Idham Chalid yang berlatarbelakang guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.

Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984), itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.[bersambung/TI]

Orang Moderat yang Santun

Sebagaimana digambarkannya dalam buku biografi berjudul Idham Chalid: Guru Politik Orang NU yang ditulis Ahmad Muhajir (Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007) bahwa seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi air.

“Apabila air dimasukkan pada gelas, maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember, maka ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, maka ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal, ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia.” (hlm. 55)

Sebagai ulama dan politisi pelaku filosofi air, Idham Chalid dapat berperan sebagai tokoh yang santun dan pembawa kesejukan. Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara peluncuran buku otobiografi Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah” di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6 Maret 2008.

Buku otobiografi Idham Chalid itu diterbitkan Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS) yang dipimpin Arief Mudatsir Mandan, yang juga anggota Komisi I DPR dari PPP, juga selaku editor buku tersebut. Idham Chalid sendiri tengah terbaring sakit di rumahnya Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.

“Saya kira tidak ada tokoh yang bisa seperti beliau. Ketokohannya sangat menonjol, sehingga pernah memimpin partai politik pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP,” kata Wapres Jusuf Kalla mengapresiasi sosok Idham Chalid, saat memberikan sambutan pada acara peluncuran buku tersebut.

“Beliau itu moderat, bisa diterima di ‘segala cuaca’, berada di tengah, oleh sebab itu ia bisa diterima di mana-mana. Ia berada di tengah titik ekstrem yang ada,” ujar Kalla di hadapan sejumlah undangan, antara lain Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, dan sejumlah anggota kabinet dan DPR.

Menurut Jusuf Kalla, sikapnya yang moderat hanya bisa dijalankan oleh orang yang santun. “Hanya orang santunlah yang bisa bersikap moderat,” puji Jusuf Kalla untuk menegaskan bahwa Idham Chalid merupakan sosok ulama dan politisi yang moderat dan santun. Itulah sebabnya, ia bisa diterima di berbagai era politik dan kepemimpinan bangsa.

Menurut Wapres, jika berada di titik yang sama ekstremnya, maka selain demokrat, sosok politik orang yang menjalani itu sudah pasti santun. “Karena itu, sikap yang santun bisa menjaga suasana kemoderatan,” katanya. [bersambung/TI]

Politikus Gabus

Idham Chalid yang memulai karier politik dari anggota DPRD Kalsel, seorang ulama karismatik, yang selama 28 tahun memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Bahkan selama kepemimpinannya itu, ia kerap dijuluki sebagai politikus gabus.

Ia pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada era pemerintahan Soekarno, Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era pemerintahan Soeharto, dan mantan Ketua DPR/MPR. Idham juga pernah menjadi Ketua Partai Masyumi, Pendiri/Ketua Partai Nahdlatul Ulama, dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sementara itu, editor buku, Arief Mudatsir Mandan, mengemukakan, Idham Chalid satu-satunya Ketua Umum PBNU yang paling lama dan bukan “berdarah biru” NU. Menurutnya, selama kepemimpinan Idham, NU tidak pernah bergejolak. Kendati ia sering dinilai lemah, tetapi sebenarnya itulah strateginya sehingga bisa diterima berbagai zaman,” ujar Arief Mudatsir Mandan.

Bahkan, sikap politiknya yang—dianggap—selalu mengambang di atas dan sering lebih menguntungkan pihak penguasa, membuat dirinya mendapat julukan ‘politikus gabus’ dari Gerakan Pemuda Ansor–organisasi sayap pemuda NU.

Benarkah semua asumsi itu? Ahmad Muhajir, dalam buku berjudul Idham Chalid: Guru Politik Orang NU, mengungkapkan sosok Idham Chalid sebagai Urvashi Butalia atau ‘sisi balik senyap’ (the other side of silent), yakni berbagai pandangan berbeda mengenai gerak langkah ‘politik abu-abu’ Idham.

Sebagai seorang tokoh NU, Idham memainkan dua lakon berbeda, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis.

Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya. Ia telah berusaha keras mengupayakan terbentuknya kestabilan kondisi umat di bawah (grassroot) yang menjadi tanggung jawabnya. Meski berbagai stereotip bakal menimpa, ia tak memedulikannya.

Baginya, yang terpenting—dalam berpolitik—adalah berorientasi pada kemaslahatan dan berguna bagi banyak orang. Karenanya, tidak (perlu) harus ngotot dan kaku dalam bersikap, sehingga umat senantiasa terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi di masa itu kondisi politik sedang mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa dan partai politik radikal semacam PKI dengan gerakan reformasi agraria (land reform) dan pemberontakannya.

Oleh karenanya, Idham menerapkan strategi politik yang berlandaskan pada tiga prinsip. Pertama, hati-hati, luwes, dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat.

Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

Dalam kaitan ini, Idham memandang bahwa NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru lebih menyulitkan untuk bergerak. [tamat/TI]
( Sumber : http://www.siagaindonesia.com )

Riwayat Hidup KH Idham Chalid

JAKARTA, hws online — Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, dan merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.

Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Idham tercatat sebagai tokoh paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut.

Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karier yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan. Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.

Selain itu, Idham juga tercatat sebagai “Bapak” pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.abi/kus

( Sumber : http://hwsyachdeini.com )

Idham Chalid, Ketua PBNU Terlama

by admin on Jul 11, 2010

Idham Chalid, politisi dan pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu meninggal dunia, Minggu pagi, 11 Juli 2010.

Idham mengawali karirnya sebagai aktivis Nahdlatul Ulama, organisasai keagamaan terbesar di Indonesia. Sejak awal kiprahnya, karier Idham terus menanjak.

Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi pada 1950, laki-laki yang dilahirkan di Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1921 ini, telah menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang, Kalimantan Selatan. Dia juga menjadi anggota DPR RIS (1949-1950).

Dua tahun setelahnya, Idham terpilih menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (1952-1956). Kemudian, ia dipilih menjadi orang nomor satu NU pada 1956 hingga 1984. Bahkan, Idham menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU terlama.

Selama hampir 30 tahun memimpin NU, Idham telah mengalami berbagai pasang surut. Di bidang eksekutif, ia beberapa kali jadi menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, ia menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan setelah itu ia diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode 1972-1977.

Jauh sebelumnya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, ia juga menjabat sebagai wakil perdana menteri. Dalam posisi pemerintahan, dia juga pernah mengemban tugas sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung menggantikan KPH Soetardjo Kartohadikoesoemo.

Idham meninggal hari ini dalam usia 88. Sebelum meninggal, Idham harus berjuang melawan penyakit stroke. Pada 1999 Idham terkena serangan jantung dahsyat, dan penyakit itu melumpuhkannya.

( Sumber : http://www.detikpertama.com )


MENGENANG KIAI HAJI IDHAM CHALID

BOGOR, DETIKPOS.net - Meninggalnya Kiai Haji Idham Chalid merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia, yang telah memberi warna perjalanan bangsa melalui kiprahnya baik semasa Orde Lama maupun Orde Baru.

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Fatah Ciomas, Kabupaten Bogor, KH Saeful Millah Hasbi, Minggu (11/7/2010), mengatakan, pengabdian terbesar diberikan oleh Idham kepada bangsa ini melalui kiprahnya di Nahdlatul Ulama (NU).

Idham tercatat menakhodai ormas Islam terbesar di Indonesia itu selama 28 tahun mulai 1956 hingga 1984. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tahun 1972-1977.

Saat memimpin NU, Idham merupakan tokoh kunci dalam berbagai fase krusial perjalanan yang dilalui Indonesia. Bahkan ia menjadi tokoh kunci dalam fase-fase genting yang dijalani Indonesia.

Saat muda Idham ikut berjuang mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi, yang telah diduduki selama 350 tahun lamanya. Begitu juga saat terjadinya peristiwa revolusi fisik yaitu transisi dari era penjajahan ke kemerdekaan, Idham menjadi salah satu tokoh pelaku sejarah.

Idham juga berada di pusat pusaran peristiwa saat penumpasan pemberontakan PKI tahun 1965-1966. "Saat itu NU berhadap-hadapan secara langsung dalam konfrontasi dengan PKI," ujarnya.

Saat Orde Baru berkuasa, ketika semua orang dihantui rasa takut oleh rezim militer yang bertahta selama 32 tahun, Idham pun menjadi tokoh kunci percaturan nasional baik melalui NU maupun melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berdiri tahun 1975.

Menurut Saeful Millah, pengabdian tanpa pamrih dan sumbangan besar yang diberikan Kiai Idham kepada bangsa ini, patut diapresiasi bersama baik oleh masyarakat maupun negara. "Wafatnya Kiai Idham merupakan kehilangan besar bagi bangsa ini," ujar Saeful Millah.

Hal senada diutarakan oleh Nailul Abrar, aktivis Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB). Dia mengatakan, Kiai Idham merupakan tokoh besar yang pernah dimiliki bangsa ini. "Kiai Idham merupakan salah satu putra terbaik yang dilahirkan NU. Beliau sebagai salah satu pemimpin besar yang pernah dimiliki Indonesia," ungkapnya. [kmp/ris]

(Sumber : http://www.detikpos.net)


MENGENANG KH IDHAM CHALID Pesantren Darul Qur’an Gelar Tahlil Hingga 40 Hari
Sabtu, 24 Juli 2010

Tahlil atau do'a bersama untuk mendoakan wafatnya ulama besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Idham Chalid digelar hingga 40 hari, kata Pengasuh Pondok Pesantren Darul Qur'an Bogor, KH Kholilullah kepada NU Online di Bogor, Sabtu.

Pesantren Darul Qur’an terletak di Jalan Raya Puncak, Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cuisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Darul Qur’an dirintis oleh almarhum KH Idham Chalid pada tahun 1968. Pesantren tersebut mengelola unit pendidikan pesantren, panti asuhan yatim piatu, MTs dan SMA.

KH Idham Chalid (88) wafat pada Ahad (11/7) lalu di Pesantren Darul Ma’arif Cipete, Jakarta.

Idham merupakan salah satu tokoh terbesar bangsa yang dilahirkan dari rahim NU. Semasa hidupnya, sebagian besar waktu Idham diwakafkan untuk mengabdi di ormas yang didirikan para ulama tersebut.

Ia tercatat pernah menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) selama empat tahun yaitu mulai 1952 hingga 1956, ketua umum PBNU 1956-1983 serta rois Jamiyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (Jatman) PBNU hingga menjelang sakit pada akhir 1990-an.

Pada level kenegaraan, karir Kiai Idham mewarnai perjalanan Orde Lama dan sebagian Orde Baru. Ia tercatat pernah menjabat Anggota DPR/MPR, Wakil Perdana Menteri, Menko Kesra, dan Menteri Sosial. Pada zaman Orde Baru, Idham dipercaya mengemban amanah sebagai ketua DPR/MPR 1972-1977 serta ketua DPA 1978-1983.

Selain itu, KH Idham juga merupakan tokoh kunci di balik fusinya NU dan partai-partai Islam pada tahun 1973. Idham merupakan deklarator PPP, mantan ketua dan presiden DPP PPP.

Anak Yatim Tahlil Hingga 40 Hari

Wafatnya KH Idham merupakan kehilangan besar bagi NU dan bangsa Indonesia. Terutama warga NU sangat kehialngan tokoh yang memiliki jasa besar menyelamatkan NU dalam berbagai periode sulit sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Terlebih bagi keluarga besar Pesantren Darul Ma’rif Cipete Jakarta dan Pesantren Darul Qur’an Cisarua Bogor.

Kholilullah mengatakan, sejak Kiai Idham wafat, para santri dan siswa Darul Qur'an selalu menyelenggarakan tahlil. Tahlil dilakukan setiap malam. Terutama siswa panti asuhan yatim setiap malam secara bergiliran selalu melakukan tahlil maupun membaca al-Qur'an di depan makam Kiai Idham.

“Tahlil akan kami selenggarakan selama 40 malam,” papar dia.

“Kiai Idham wasiat mimta dimakamkan di Darul Qur'a karena ingin terus didoakan oleh anak yatim. Selain karena adanya wasiat tersebut, secara kesadaran kami terus mendoakan beliau. Beliau adalah guru dan orang tua kami," tutur Kholilullah.

(Sumber: NU online)