Petugas Haji Kloter 1 Embarkasi Banjarmasin 2010

Ketua Kloter (TPHI) : Drs.H.Munadi Sutera Ali, M.M.Pd. Pembimbing Ibadah : H.Sarmadi Mawardi,Lc.,S.Pd.I Dokter (TKHI) : dr.Hj.Nor Salehah Paramedis (TKHI) : H. Irpani,S.Kep Paramedis (TKHI) : H.Gunawan,S.ST. TPHD : Drs.H.Gazali Rahman,M.Si

Senin, 18 April 2011

SANG PEMBAHARU DUNIA ISLAM

IDHAM CHALID
(Tokoh dan Ulama Pembaharu Dalam Dunia Islam)
Diantara penumpang pesawat Dakota jurusan Jakarta – Kalimantan (selatan) itu terdapat K.H A. Wahid Hasyim, K. H. Imam Zarkasyi, K. H Saifuddin Zuhri dan K. H Idham Chalid.
Dalam Pesawat terbang itu K. H. A Wahid hasyim Membisiki K. H Saifuddin Zuhri, agar selalu dekat dengan Idham Chalid. “ Ceritakan hal-hal yang bertalian dengan Nahdlatul Ulama, “pesannya.
K.H. A Wahid hasyim ingin menjadikan Idham Chalid seorang tokoh dalam Nahdlatul Ulama dalam tempo tidak terlalu lama]
Idham Chalid benar-benar luput dari perhatian para sarjana sekalipun dia pernah menjadi Wakil Perdana Mentri dan Ketua Umum PBNU paling lama dalam sejarah. Alasan-alasan pengabaian ini berhubungan dengan situasi politik dan budaya di mana Idham bekerja. Idham bukanlah seorang pemimpin yang suka mengumbar keberhasilan atau prestasi yang di capainya. Dia adalah seseorang rendah hati dan tidak suka menarik perhatian publik dan berbeda dari banyak teman seangkatannya, dia tidak menerbitkan suatu autobiografi yang memetakan kehidupan dan pemikirannya.
Demokrasi terpimpin (Guided Democracy) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini, yang terlaksana secara formal antara 1959-1965, atau tepatnya sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta (kup) G 30 S 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah di jalankan di Indonesia.
Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidak senangan sebagian masyarakat politik Indonesia terhadap sistem Demokrasi Parlementer.
[ diantara penumpang pesawat Dakota jurusan Jakarta – Kalimantan (selatan) itu terdapat K.H A. Wahid Hasyim, K. H. Imam Zarkasyi, K. H Saifuddin Zuhri dan K. H Idham Chalid. Dalam Pesawat terbang itu K. H. A Wahid hasyim Membisiki K. H Saifuddin Zuhri, agar selalu dekat dengan Idham Chalid. “ Ceritakan hal-hal yang bertalian dengan Nahdlatul Ulama, “pesannya. K.H. A Wahid hasyim ingin menjadikan Idham Chalid seorang tokoh dalam Nahdlatul Ulama dalam tempo tidak terlalu lama]
Idham Chalid benar-benar luput dari perhatian para sarjana sekalipun dia pernah menjadi Wakil Perdana Mentri dan Ketua Umum PBNU paling lama dalam sejarah. Alasan-alasan pengabaian ini berhubungan dengan situasi politik dan budaya di mana Idham bekerja. Idham bukanlah seorang pemimpin yang suka mengumbar keberhasilan atau prestasi yang di capainya. Dia adalah seseorang rendah hati dan tidak suka menarik perhatian publik dan berbeda dari banyak teman seangkatannya, dia tidak menerbitkan suatu autobiografi yang memetakan kehidupan dan pemikirannya.Demokrasi terpimpin (Guided Democracy) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini, yang terlaksana secara formal antara 1959-1965, atau tepatnya sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta (kup) G 30 S 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah di jalankan di Indonesia.Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidak senangan sebagian masyarakat politik Indonesia terhadap sistem Demokrasi Parlementer.
Tak bisa disangkal, Idham Chalid adalah sosok kontroversial dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama (NU). Ia dianggap sebagai politikus yang tidak memiliki pendirian, mementingkan diri sendiri (egois), dan banyak merugikan kepentingan umat. Bahkan, sikap politiknya yang—dianggap—selalu mengambang di atas dan sering lebih menguntungkan pihak penguasa, membuat dirinya mendapat julukan ‘politikus gabus’ dari Gerakan Pemuda Ansor–organisasi sayap pemuda NU.
Benarkah semua asumsi itu? Buku ini secara jeli berusaha menguak sisi ruang batin Idham Chalid yang tidak terekam oleh ‘sejarah resmi’. Ahmad Muhajir, dalam buku ini, berupaya mengungkap apa yang disebut Urvashi Butalia sebagai ‘sisi balik senyap’ (the other side of silent), yakni berbagai hal tentang Idham yang riil dan hidup di tengah masyarakat, namun tidak dianggap penting sehingga tidak ter(di)suguhkan kepada kita. Berbeda dari persepsi umum yang berkembang di masyarakat mengenai gerak langkah ‘politik abu-abu’ Idham, buku ini mengangkat ‘sisi senyap’ di balik gerakan politik Idham. Melalui buku ini, penulis menelisik lebih jauh ruang terdalam manusiawi seorang tokoh kelahiran Kalimantan Selatan 85 tahun silam tersebut.
Sebagai seorang tokoh NU, Idham memainkan dua lakon berbeda, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya. Ia telah berusaha keras mengupayakan terbentuknya kestabilan kondisi umat di bawah (grassroot) yang menjadi tanggungjawabnya. Meski berbagai stereotip bakal menimpa, ia tak memedulikannya.
Baginya, yang terpenting—dalam berpolitik—adalah berorientasi pada kemaslahatan dan berguna bagi banyak orang. Karenanya, tidak (perlu) harus ngotot dan kaku dalam bersikap, sehingga umat senantiasa terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi di masa itu kondisi politik sedang mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa dan partai politik radikal semacam PKI dengan gerakan reformasi agraria (land reform) dan pemberontakannya.
Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.
Dalam kaitan ini, Idham memandang bahwa NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru lebih menyulitkan untuk bergerak. Hal ini, misalnya, terlihat ketika ia mengompromikan langkah pemerintah pada masa Orde Lama dengan Demokrasi Baru. Akan tetapi, ketidakmengertian tentang arah politik Idham tersebut, menyebabkannya harus tersingkir dan ter(di)lupakan begitu saja.
Karena itu, kehadiran buku ini tentu saja dapat membuka tabir tersembunyi atau sisi senyap pemikiran seorang Idham, sekaligus menambah deretan mozaik langkah para politisi NU dalam kancah politik yang kurang banyak diungkap ke permukaan. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan sebagai rujukan jejak politik tokoh-tokoh politik NU dalam mewujudkan strategi politik di masa lampau seiring semakin maraknya para ulama masa kini yang masuk ke ruang politik ketimbang ruang keumatan.
Di samping itu, nilai tambah buku ini adalah, Ahmad Muhajir juga melakukan tinjauan terhadap literatur-literatur ilmiah tentang Idham Chalid, seraya menyediakan gambaran bagaimana Idham dipotret oleh para sarjana Indonesia dan Barat. Akan tetapi, bagian utama dari teks ini dipersembahkan untuk menjelaskan dan menganalisis pemikiran politik keagamaan Idham, terutama yang berhubungan dengan sikap-sikap NU dalam merespon Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Muhajir memusatkan diri pada penafsiran Idham mengenai konsep syura serta bagaimana tafsiran itu digunakan untuk menjustifikasi penerimaan ideologi semi-otoriter Demokrasi Terpimpin.
Namun demikian, sekalipun bersimpati dalam menggambarkan sang tokoh, Muhajir tetaplah kritis. Sebagai sesama orang Banjar, tentu saja Muhajir memiliki wawasan budaya dan akses kepada sumber-sumber yang tidak dipunyai para sarjana terdahulu. Dia meneliti literatur klasik mengenai syura dan membandingkannya dengan penafsiran yang lebih kontemporer, sebelum berargumen bahwa tulisan-tulisan Idham mengenai konsep ini dipengaruhi oleh situasi politik yang dihadapi NU pada akhir 1950-an.
Praktis, buku setebal 169 ini layak dibaca siapa saja sebagai suatu permulaan bagi perdebatan yang lebih dalam mengenai kiprah Idham Chalid dan perannya dalam sejarah perpolitikan NU. Semoga!
( Sumber : www.nu.or.id - http://pustakamuslim.wordpress.com - http://udhiexz.wordpress.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar